TEMPO.CO, Bagansiapiapi - Gemericit walet dan suara hujan tipis-tipis dari atas langit Bagansiapiapi menjadi lagu alam pengiring proses pengarakan replika kapal. Teriakan “huata” yang muncul dari mulut empunya wajah-wajah peranakan terdengar bak paduan suara, mendorong semangat dimulainya rangkaian ritual bakar tongkang dari tempat pembuatannya di samping kelenteng.
Baca juga: Suguhan Warisan Kuliner di Bagansiapiapi: Uniknya Soto Bagan
Beberapa jam sebelumnya, para tang ki atau loya—manusia yang dipercaya punya kemampuan metafisis—beserta perwakilan masing-masing kelenteng, menggelar penghormatan kepada Dewa Kie Ong Ya dan Tai Sun di Kelenteng Ing Hok Kiong. Menurut sejarahnya, klenteng tersebut merupakan yang tertua di Bagan—sebutan singkat Kota Bagansiapiapi. Di pintunya tertulis, klenteng dibangun pada tahun naga, yang diperkirakan menurut penanggalan Hijriah bertepatan pada era 1870-an.
Sementara itu, bakar tongkang secara turun-temurun diyakini merupakan ritual untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya, dewa pelindung masyarakat setempat, yang jatuh pada penanggalan lunar di hari ke-16 bulan kelima, dihitung pasca-Imlek.
Warga keturununan Tionghoa Bagan Siapiapi melakukan sembahyang sebelum ritual bakar tongkang di Bagan Siapiapi, Riau, 14 Juni 2014. TEMPO/Riyan Nofitra
Secara historis pula, upacara itu merupakan sebuah penanda untuk memperingati hikayat asal-muasal Kota Bagan. Dulunya, menurut kisah yang berkembang, sejumlah pengembara asal Fujian, Cina, melakukan pelayaran untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Di tengah perantauan, mereka diombang-ambingkan gelombang hingga tak tahu arah.
Sewaktu diliput ketakutan, para pengembara berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya, hingga akhirnya muncul petunjuk berupa kunang-kunang yang mengantarkan rombongan itu sampai di bibir barat tepian Selat Malaka, yang sekarang disebut Kota Bagan. Delapan belas orang di kapal selamat. Secara kebetulan, mereka bermarga Ang. Keluarga besar Ang lantas membakar kapal yang ditunggangi dan berjanji tak bakal kembali ke kampung halamannya lantaran ingin menetap di tanah yang mereka pijak selepas lolos dari gulungan ombak. Sampai sekarang, mereka dipercaya menjadi nenek moyang warga Bagan.
Selepas menaruh hormat, tang ki dan rombongan dari beragam klenteng menjemput si tongkang. Diaraknya kapal yang sudah disolek dengan bendera warna-warni serta lukisan perlambang shio-shio manusia, juga unsur-unsur semiotis lain, menuju kelenteng. Sepanjang jalan, orang-orang bersuka menyambut. Jalanan kecil di Bagan yang mirip dengan perkampungan Lijiang sekonyong-konyong penuh sesak oleh warga yang ingin menyaksikan si lakon utama ritual tahunan itu diarak menuju persemayaman.
Di muka tongkang, bertengger kepala naga yang gagah. Keberadaannya mengisyaratkan karisma seorang dewa yang memiliki kedudukan tertinggi secara spiritual. Namun, selembar kain merah menutupinya. Orang-orang yang pingin menyaksikan cuma bisa mengintip, tak dapat melihat gamblang. Baru, pada tengah malam nanti, tepat pukul 00.00, dilaksanakan ritual untuk membuka tabir tersebut. Mereka menyebutnya sebagai peresmian. Upacara tengah malam ini dilakoni oleh para sesepuh, juga tang ki sang ahli gaib.
Berikutnya tongkang diarak menuju arena pembakaran