Pagi-pagi betul, belum juga matahari muncul, halaman kelenteng sudah riuh. Meja panjang berderet dari muka pintu sampai kira-kira 300 meter menuju jalan raya. Para perantau berdatangan dari kota-kota tetangga. Ce Ani, yang kala itu datang dari Medan, dan tiba di Bagan sehari sebelumnya, turut menggelar persembahan. “Karena ini seperti lebaran bagi kami, jadi harus datang dan ikut ritualnya,” ucapnya. Ce Ani membawa persembahan berupa kue, buah-buahan, dan kacang-kacangan.
Baca juga: Masyarakat Bagansiapiapi Siap Gelar Perayaan Bakar Tongkang
Di samping meja perempuan paruh baya itu, ada keluarga yang menghaturkan seekor babi mentah utuh. Secara bersamaan, asap pembakaran membubung memenuhi langit Bagan. Bau anyir darah bercampur wangi menyekat dari dupa menjadi aroma yang lekat menyapu penciuman seketika itu.
Wewangian yang nano-nano sedikit teralihkan dengan pemandangan yang asing ditemui di Indonesia: orang-orang berbicara dengan logat Hokkian, pun mereka berucap satu sama lain dengan intonasi yang tak lazim didengar di kuping. Di hampir semua titik, masyarakat melakoni sembahyang. Muaranya di dalam kelenteng.
Sedangkan di sisi kanan, tongkang berdiam kukuh. Kepalanya sudah tak lagi tertutup kain. Di depannya, orang-orang mengantukkan dupa sembari mengucap satu-dua kalimat. Mereka memohon berkat untuk usia, rezeki, keselamatan, dan kesejahteraan. Juga meminta supaya dijauhkan dari beragam persoalan dan halangan.
Perahu tongkang dibakar tepat dipinggir bekas dermaga di Bagan Siapiapi, Riau, 14 Juni 2014. Ritual bakar tongkang diikuti sedikitnya 40 ribu warga etnis Tionghoa baik dari dalam maupun luar negeri. TEMPO/Riyan Nofitra
Matahari meninggi. Kota Bagan berangsur terik. Lagu-lagu berbahasa Mandarin diputar keras-keras di hampir semua sudut di kota yang dulunya pernah berjuluk Ville Lumiere atau Kota Cahaya ini. Tabuhan simbal, gong, dan tambur turut menjadi-jadi. Barisan orang berseragam warna-warni seliweran menuju kelenteng. Persembahan serupa gunungan dipanggul empat hingga enam orang.
Area sekitar meja altar sesak dijejali manusia. Terlebih sewaktu para tang ki datang satu per satu, unjuk diri dengan gerakan-gerakan supernatural. Mulutnya mengucapkan kata-kata yang tak bisa diartikan secara harfiah. Badannya bergetar hebat dan kepalanya menengok acak. Kadang-kadang mengerang lirih, membikin suasana menjadi mistis. Dalam keadaan demikian, sang dewa sedang bekerja di dalam raga tang ki.
Pemandangan ini berlangsung hingga pukul tiga sore. Setelahnya, tongkang diarak menuju arena pembakaran. Seperti karnaval, banjar paling muka diawali dengan barisan replika para dewa yang dipanggul bak gunungan persembahan. Berturut-turut setelahnya, para ahli gaib dan rombongan tim dari masing-masing kelenteng mengiringi. Barulah tongkang mendiami bagian buntut. Keberadaannya seolah menjadi gong sebuah parade.
Lokasi pembakaran berjarak tak kurang satu kilometer dari Klenteng Ing Hok Kiong. Arena ini berupa lapangan luas yang dulu dikabarkan menjadi lokasi pertama datangnya para leluhur di tanah itu. Sepanjang pawai, di tepi-tepi jalan, orang-orang menunggui di depan rumah. Masing-masing menggenggam dupa merah, minimal tiga batang. Jalur itu mendadak padat oleh manusia. Saat tongkang lewat, mereka mengelu-elukan dupa sembari mengucapkan satu-dua kalimat harapan.
Dua pilar layar kapal langsung dipasang sejurus setelah tongkang tiba di lokasi pembakaran. Para warga berkerumun mengelilingi. Tiang inilah yang menjadi intisari ritual. Kala simbol hikayat dibakar, ke mana jatuhnya tiang, entah menuju darat atau laut, arah itulah yang selanjutnya dipercaya sebagai sumber rezeki mereka. Kalau tiang jatuh ke arah laut, berarti rezeki mereka tahun ini muasalnya dari kekayaan yang didapatkan dari lembah bahari. Namun, kalau jatuhnya ke darat, peruntungan bakal bersumber dari kekayaan yang terdapat di tanah.
Sambil menunggu api melahap tongkang, jutaan lembar kertas kim atau kim cua ditabur di sekelilingnya. Lapangan berubah menjadi lautan berwarna kuning kemerahan. Tatkala bara dinyalakan, lidah-lidah api seketika melumat seluruh bagian kapal dan kertas-kertas yang bertebaran di sekitarnya.
Warga terus berteriak “huata” dan berpawai mengelilingi bara raksasa sembari menunggu tiang roboh. Bersamaan dengan angin yang menggulung api, tiang pertama, lantas kedua, ambruk. Keduanya tunduk di haluan laut. Sorak-sorai santer terdengar. “Rezeki kita dari laut,” kata masyarakat Bagansiapiapi itu hampir bersamaan.
Baca juga: 69 Ribu Wisatawan Rayakan Ritual Bakar Tongkang di Riau