Sesampai di rumah besar (uma) keluarga Aman Andres di Desa Rogogot, terlihat seorang turis asing asal Swiss bernama Lars. Pria jangkung berusia 20-an itu mengaku sudah tiga hari berada di uma tersebut. “Saya seolah berada di dunia lain yang jauh dari peradaban modern,” kata dia.
Lars mengenal Mentawai melalui cerita ayahnya saat ia masih kanank-kanak. Sang ayah adalah seorang peneliti. "Saya penasaran dan ingin datang sendiri ke Mentawai," kata dia.
Saat keinginannya kesampaian, ternyata Lars betah berada di pedalaman Mentawai. Dia pun ingin memperpanjang liburannya.Sikerei muda Aman Lapon akan berburu di Desa Butuy, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai (Tempo/Ayu Ambong)
Rasa penasarannya juga terpenuhi setelah menyaksikan kehidupan di pedalaman. Semuanya sesuai belaka dengan cerita ayahnya. Misalnya, soal ritual pengobatan oleh sikerei, ikhwal tatto di sekujur tubuh mereka, ornamen-ornamen di uma yang penuh dengan tongkorak monyet hasil buruan, dan lain-lain.
Suardi Kujo, seorang pengusaha biro perjalanan di Padang, mengatakan wisata budaya ke pedalaman Mentawai memang masih menyimpan daya tarik yang tidak habis dijelajahi. Tentu saja ini daya tarik bagi wisatawan dengan minat khusus.
"Meski di pedalaman sama sekali tidak ada listrik, apalagi sinyal telpon genggam, dan penuh perjuangan untuk mencapainya, orang tetap saja penasaran ingin kesana karena menginginkan sesuatu yang beda dengan lain. Terutama mereka ingin mengetahui kehidupan masyarakat yang masih asli," kata Kujo.
Di Mentawai pelancong bisa langsung terlibat seolah-olah menjadi anggota keluarga. Kegiatan tersebut diantaranya adalah berburu, mengolah sagu, mencari ikan di sungai dengan jaring serok, membuat racun panah lalu berburu, menyaksikan tarian tradisional, membuat tatto, dan banyak kegiatan lain.
Ade Kep punya saran, bagi yang ingin berkunjung ke Mentawai disarankan membawa buah tangan tembakau. Orang Mentawai, kata dia, baik pria maupun wanita, adalah perokok berat. Tembakau ini bisa dibeli di Muara Siberut.
ANTARA