Beragamnya etnis peziarah
Makam Sunan Gunung Jati nyatanya tak hanya diziarahi oleh suku, agama atau etnis tertentu. Saat Tempo datang ke makam, ada satu keluarga (lima orang) Tionghoa yang khusyuk dan khidmat bersembahyang di depan pintu gerbang ketiga (Pintu Pasujuduan atau Sela Matangkep) makam Sunan Gunung Jati, dengan dipimpin kepala keluarga. Ritual mereka akhiri dengan menaburkan kembang ziarah dan menaruh beberapa ikat tanaman selasih di depan Pintu Pasujudan.
Satu keluarga Tionghoa berziarah di makam Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Sembung, Cirebon, pada hari pertama Lebaran 1 Syawal 1443 Hijriah atau Senin, 2 Mei 2022. Para peziarah diperbolehkan berziarah sampai depan pintu ketiga atau Pintu Pasujudan yang terkunci. TEMPO/Abdi Purmono
Meski dengan sopan menolak menyebutkan nama, peziarah itu mengaku berasal dari Jakarta. Katanya, mereka baru saja melaksanakan sembahyang arwah leluhur dan sudah tiga kali mereka melakoni sembahyang arwah di makam Sunan Gunung Jati. Tujuannya, selain untuk menghormati salah seorang istri Sunan Gunung Jati sebagai leluhur, juga untuk mendapatkan keberkahan atau ngalap berkah, kelancaran usaha, dan kelimpahan rezeki.
Menurut dia, banyak orang Tionghoa melakukan ritual di makam Sunan Gunung Jati. Pihak pengelola tidak melarang dan bersikap biasa-biasa saja lantaran ritual tersebut sudah lumrah dilakukan warga Tionghoa di hari-hari tertentu.
“Mohon maaf, Mas, nama saya tak usah disebut. Saya tak mau kegiatan kami jadi omongan tak enak oleh orang-orang di luar sana yang tidak tahu apa-apa. Yang penting niat dan tujuan kami ke sini baik dan tidak merugikan siapa pun,” kata si bapak.
Luthfi menyatakan para peziarah datang dari banyak daerah. Suku, ras dan agamanya pun beragam. Makanya, Luthfi dan juru kunci lainnya tidak merasa heran melihat kehadiran orang-orang Tionghoa di dalam kompleks makam Sunan Gunung Jati.
Menurut Luthfi, jumlah orang yang menziarahi makam Sunan Gunung Jati pada 1 Syawal atau hari pertama Idulfitri sedikit. Kebanyakan peziarah berasal dari keluarga empat keraton di Cirebon. Sedangkan masyarakat biasa menziarahi pemakaman umum, termasuk pemakaman umum yang berada di dalam kompleks makam Sunan Gunung Jati.
Biasanya, masyarakat berbondong-bondong berziarah di makam Sunan Gunung Jati pada hari ketiga Idulfitri. Para peziarah hanya diperbolehkan ziarah sampai depan depan Pintu Pasujudan. Untuk orang asing nonmuslim, termasuk orang Tionghoa, disediakan area khusus di sebelah barat makam. Orang Tionghoa mendominasi kelompok peziarah nonmuslim.
“Orang-orang Cina berziarah ke sini bukan hanya untuk menghormati Sunan Gunung Jati, tapi juga untuk menghormati salah seorang istri beliau yang beretnis Tionghoa,” kata Luthfi, persis yang dikatakan si bapak Tionghoa tadi.
Dalam buku Atlas Wali Songo ditulis strategi dakwah yang dijalankan Sunan Gunung Jati adalah memperkuat kedudukan politik sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon, Banten dan Demak melalui pernikahan.
Sunan Gunung Jati menikahi enam orang perempuan dalam waktu yang tidak bersamaan, misalnya menikah lagi setelah seorang istrinya meninggal dunia.
Salah seorang istrinya perempuan Cina bernama Ong Tien, yang menurut legenda adalah putri kaisar Cina dari Dinasti Ming yang bernama Hong Gie. Karena putri kaisar, maka Ong Tien digelari nama Nyi Mas Rara Sumanding, atau disebut Putri Petis. Pasangan Kanjeng Sunan dan Ong Tien dikaruniai seorang putra yang meninggal semasa bayi. Tak lama setelah kematian bayinya, Ong Tien wafat.
Jadi, menurut Luthfi, “Bagi sebagian saudara kita yang orang Cina yang berziarah ke sini, Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati itu leluhur mereka.”
Kisah Gus Dur di makam Sunan Gunung Jati