Kisah Kesultanan Cirebon dan Sunan Gunung Jati
Makam Sunan Gunung Jati bisa dibilang sebagai pusat cerita Kesultanan Cirebon. Ini adalah makam seorang aulia besar yang jadi destinasi wisata religi andalan utama Cirebon, yang “dijual” kepada wisatawan domestik dan mancanegara.
Sunan Gunung Jati alias Syekh Maulana Syarif Hidayatullah bersahabat dengan delapan Sunan lain, yaitu Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Sembilan Wali menetap di pantai utara Jawa dari awal abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 di tiga wilayah pesisir utara nan penting dan strategis, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah serta Cirebon di Jawa Barat.
Cirebon sendiri sudah lama menjadi destinasi wisata yang unik dan menarik di Jawa Barat. Disebut unik karena Cirebon tidak hanya mengandalkan wisata religi bermaskot Sunan Gunung Jati, maupun nasi lengko dan aneka olahan udang yang jadi kuliner khas Cirebon, melainkan wisata sejarah keraton-keratonnya.
Keraton memang bukan barang asing di Indonesia. Namun, hanya Cirebon yang mempunyai empat keraton sekaligus dalam satu kota/kabupaten.
Secara ringkas, sejarah keraton Cirebon diawali oleh pendirian Keraton Kasepuhan oleh Pangeran Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang alias Mbah Kuwu Cirebon (1430-1479), putra sulung Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, raja Pajajaran yang berkuasa sepanjang 1482-1521.
Berdasarkan urutan silsilah atau susur galur (keturunan), Pangeran Cakrabuana memang paling berhak menggantikan sang ayah menjadi raja. Masalahnya, Sang Pangeran seorang muslim. Agama Islam diturunkan dari ibu kandungnya, yang notabene istri pertama Prabu Siliwangi yang bernama Subanglarang.
Perbedaan agama membuat Pangeran Cakrabuana tidak bisa memimpin Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Galuh yang masih menganut kepercayaan Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) yang lekat dengan ajaran Hindu dan Buddha. Makanya, Pangeran Cakrabuana kemudian melepas gelar putra mahkotanya dan keluar dari pakuan (istana/keraton) untuk mendirikan Kesultanan Cirebon, sekaligus jadi raja pertamanya.
Pendirian kesultanan Cirebon pada 1448 berhubungan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak. Belakangan Cakrabuana berganti nama jadi Haji Abdullah Iman setelah ia berhaji.
Seturut perkembangan Cirebon, terjadi pembagian kekuasaan di antara keluarga Haji Abdullah Iman, yang ditandai dengan pembangunan empat keraton. Masing-masing keraton dihuni oleh keturunan langsung Haji Abdullah Iman selaku Sultan Cirebon. Empat keraton ini ialah Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan Keraton Kapronan.
Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman punya dua adik kandung di Kerajaan Pajajaran, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang. Nah, Nyai Rara Santang inilah ibu kandung Sunan Gunung Jati sehingga otomatis Sang Sunan jadi keponakan Pangeran Cakrabuana. Menikah dengan pria muslim, Nyai Rara Santang kemudian berganti nama jadi Syarifah Muda’im.
Ayah kandung Sunan Gunung Jati adalah Syarief Abdullah alias Sultan Hud, penguasa di Ismailiyah, negeri Mesir yang wilayahnya mencakup Palestina kediaman Bani Israil. Ayahnya masih keturunan Nabi Muhammad dari garis pasangan Siti Fatimah (putri Nabi Muhammad) dan Ali bin Abi Thalib.
Sebagian cerita itu berdasarkan penuturan beberapa orang juru kunci makam Sunan Gunung Jati, termasuk Muhammad Luthfi, ditambah informasi dari buku Atlas Wali Songo (2016) karya Agus Sunyoto, sejarawan dan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
Warga Tionghoa ikut ziarah