TEMPO.CO, Bandung - Sate pentul, penganan khas Jawa Timur ini sangat unik. Penganan ini terbuat dari tepung kanji yang dicampur dengan ikan tengiri segar dan aneka rempah-rempah. Lalu adonan dibentuk bulatan gepeng kecil dan ditusuk dengan tusukan sate, dibungkus daun pisang, kemudian dibakar.
Rasanya mirip otak-otak. Hanya saja, jika otak-otak dimakan dengan cocolan sambal kacang, sate pentul dinikmati dengan cocolan sambal pecel cabai rawit merah. Rasanya paduan gurih dan pedas.
Dinamakan sate pentul karena bentuknya mirip jarum pentul. Rasa sate yang gurih ditambah dengan sambal pecel cabe rawit merah menambah cita rasa bagi penggila sambal pedas. “Penganan ini khas Jawa Timur, biasanya ditemukan di daerah pesisir,” kata Dani Kurniawan, Executive Chef Garden Permata Hotel, Bandung, kepada Tempo, Jumat, 30 Mei 2013.
Selain sate pentul, aneka makanan khas Jawa Timur lainnya tersaji di beberapa stan makanan, seperti rawon, tahu campur, rujak cingur, pecel madiun, gado-gado, soto lamongan, lontong balap, dan tahu tek, tahu gunting, dan sebagainya. Rupanya hotel bintang empat di Jalan Lemah Neundeut, Bandung, ini tengah menggelar East Java Food Festival mulai 26 hingga 31 Mei 2014. Oleh sebab itu. makanan yang disajikan di sana adalah kuliner khas Jawa Timur.
Tempo menjajal tahu gunting. Makanan itu terdiri atas tahu yang digoreng kering di luar, tapi basah di dalam, dicampur dengan kupat, toge kecil, potongan timun dan bumbu pecel. Jika Anda suka pedas, bisa ditambah sambal cabe rawit merah. Namun, jika tak suka pedas, cukup dengan menambah kecap manis. Saya menambahkan sambal cabai rawit merah pada sajian tahu gunting itu. Rasa gurih dan pedasnya terasa hingga dahi pun berkeringat. Gemericik air terjun buatan menemani santap siang saya di hotel bernuansa art deco itu.
Dani merekomendasikan saya makan tahu tek. Makanan itu terdiri dari lontong, tahu Surabaya, dadar telur yang digoreng dengan minyak yang banyak, rebusan kacang panjang, kol, touge, dan timun, lalu disiram dengan bumbu pecel. Bumbu pecel ini racikannya terdiri dari kacang, rawit merah, bawang putih, dan kencur. Untuk Anda yang suka pedas, bisa ditambahkan sambal rawit merah. Rasanya tak jauh beda dengan tahu gunting, pedasnya terasa banget.
Menurut Dani, lidah orang Jawa Timur mirip dengan orang Bandung, suka pedas dan gurih. Bedanya, orang Bandung tidak suka rasa pedas yang terlalu kuat. “Tapi, orang Jawa Timur sangat kuat dengan rasa pedas,” ucap chef asli Bandung itu.
Yang menjadi ciri khas masakan Jawa Timur, kata Dani, adalah bumbu pecel petis. Hampir semua jenis makanan pecel selalu menggunakan petis, seperti lontong balap, rujak cingur, tahu gunting. Apalagi untuk lontong balap, ciri khasnya dengan makanan Jawa Tengah adalah lento, olahan kacang tolo yang dihancurkan lalu dicampur dengan rempah-rempah, seperti kencur dan cabai rawit. “Makanan ini juga cita rasanya tetap pedas,” ucap Dani.
Untuk menyiapkan East Java Food Festival, dua bulan sebelumnya Dani sengaja datang ke beberapa kota di Jawa Timur. Selama empat hari di Kota Pahlawan, Dani menyambangi warung-warung tradisional, seperti Lontong Balap Rajawali di Surabaya dan warung nasi pecel Ponorogo Bu Yatin. “Saya juga belajar masak masakan Jawa Timur pada seorang chef di Surabaya,” ucap Dani.
“Kami gelar East Java Food Festival karena selain rasanya banyak disukai berbagai kalangan, ternyata orang Jawa Timur di Bandung juga banyak,” kata Emalia, Public Relation Garden Permata. Menurut dia, sejak festival itu dibuka 26 Mei lalu, banyak sekali tamu dari luar hotel yang datang hanya untuk menikmati sajian kuliner dengan cita rasa Jawa Timur di sini.
Menurut Emalia, food festival itu juga untuk melestarikan dan memperkenalkan makanan tradisional Indonesia kepada para tamu lokal maupun mancanegara. “Hotel kami sering dikunjungi orang asing. Dengan adanya makanan tradisional, kami berharap dapat sekaligus memperkenalkan Indonesia kepada mereka,” ujarnya.
Rudi Suharso, asli Surabaya, sengaja datang ke Permata Garden untuk santap siang. “Kebetulan lewat, eh ternyata di sini sedang ada East Java Food Festival. Saya mampir untuk melepas kangen pada makanan khas Jawa Timur,” ucap pria 45 tahun yang sudah sepuluh tahun bekerja di Kota Kembang itu.
ENI SAENI