TEMPO.CO, Korea - Temperatur 35 derajat celcius di luar, nyaris sama panasnya dengan suasana di dalam bus berpendingin yang berhenti di Camp Bonifas, kawasan pemeriksaan yang berjarak 400 meter dari perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan pada Jumat, 3 Agustus 2012. Seorang tentara masuk dan meminta tiap penumpang bus untuk menyiapkan paspor, meneken surat pernyataan, mengecek kerapian pengunjung, dan berulang kali melarang untuk mengambil foto.
Jumat terik itu, Tempo mendapat kesempatan untuk singgah ke Demilitarized Zone (DMZ), daerah penanda masih terjadinya perang dingin di era globalisasi. "Perang" antara satu bangsa, satu pulau, dengan medan perbatasan sepanjang 250 kilometer dan lebar 4 kilometer di Semenanjung Korea.
Ada dua pengecekan untuk masuk ke kawasan Panmujeom atau Join Security Area. Pertama di gerbang utama dan kedua adalah Camp Bonifas. Bonifas adalah tempat yang dinamai dari anggota pasukan Amerika yang gugur dalam insiden pembunuhan Kapak tahun 1976, Kapten Arthur G. Bonifas.
Sepanjang perjalanan ke Bonifas, dari sisi kiri akan terlihat sebuah desa. Aneh pada awalnya, karena sebuah desa bernama Tae Sung Dong (Mencapai Kota yang sukses) berada di sebuah kawasan militer. "Di seberang desa ini ada Desa Gijeong-dong milik Korea Utara, biasa disebut desa propaganda," ujar Kim Heejong, pemimpin tur kami.
Menurut perempuan yang sudah dua kali berkunjung ke DMZ, dua desa berseberangan itu adalah proyek dua negara yang baku pamer bahwa mereka hidup sejahtera. "Saling kompetisi lah istilahnya," kata Heejong. Kalau sudah sampai Panmunjeom, pengunjung bisa menyaksikan Desa Gijeong-dong dari kejauhan.
Tiba di Bonifas, kami pun masih menunggu sekitar 15 menit. Hari itu jadwal memang padat, dan rombongan kami adalah grup terakhir yang tiba sekitar pukul 3 petang. Sebelum berkeliling, pengunjung harus meneken surat pertanyaan. Isinya antara lain menguraikan identifikasi pasukan, pengunjung, dan pewarta Korea Utara, aturan pengunjung dari Korea Selatan, dan kawasan terlarang untuk mengambil gambar.
Yang menarik adalah ada larangan mengejek atau bertindak abnormal pada pengunjung atau pasukan Korea Utara. Karena itu bisa dianggap sebagai propaganda sehingga pasukan dari negara di bawah pimpinan Kim Jong Un itu berhak untuk menyerbu jiran mereka.
Beres urusan administrasi, pimpinan tur diambil alih oleh seorang kopral dari Tentara Korea Selatan. Kopral Won, pemuda yang tengah menjalani wajib militer, mengawali tur dengan menjadi penutur film sejarah Panmujom.
Rombongan kemudian berganti bus milik JSA menuju garda terdepan pertemuan dua pasukan, Panmunjeom atau JSA. Tak boleh ada notes, tas, bahkan paspor. Hanya kamera bekal untuk melihat pasukan Korea Utara. Cukup sepuluh menit perjalanan, tapi karena baru pertama, rasanya mencengangkan. Apalagi Kopral Won acap memberi peringatan jika ada anggota rombongan yang berdiri maupun mengabadikan kawasan sepanjang jalan.
Waktu bus JSA berhenti di tujuan, kami diharuskan berbaris membentuk dua banjar sebelum memasuki Freedom House, gedung untuk menerima pelancong yang berdiri sejak 1998. Gedung ini tepat berseberangan dengan gedung Panmungak milik Korea Utara yang dibangun pada 1969. "Ada kesepakatan, gedung yang dibangun setelah Panmungak, tingginya tidak boleh melewati bangunan mereka," ujar Kopral Won.
Tepat di belakang Freedom House, Kopral Won memberi waktu sepuluh menit untuk mengambil gambar tentara Korea Utara di Panmungak. Ada empat bangunan konferensi yang memisahkan Panmungak dan Freedom House. Dua bangunan di ujung kanan kiri yang berwarna abu-abu adalah milik Korea Utara, sisanya yang berwarna biru di tengah adalah milik Korea Selatan.
Jumat sore itu ternyata Panmungak sepi pengunjung dan hanya ada satu tentara dari Negara Komunis itu. Waktu rombongan datang, tentara oposisi langsung meneropong tamu tetangganya. Ketika dirasa cukup mengamati rombongan kami, tentara Korea Utara kembali sigap berjaga. Bagi pengunjung yang memiliki kamera dengan lensa pembesar bisa menangkap aktivitas tentara tetangga lebih jelas.
Dari belakang Freedom House, sampailah ke tur terakhir, gedung konferensi. Di dalam gedung biru sudah ada dua tentara yang berjaga. Pengunjung bisa melihat meja perundingan dua pimpinan negara serumpun itu. Ada mikrofon kecil di atas meja dan bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa, dua saksi bisu unifikasi yang masih mimpi.
DIANING SARI