Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur situs ini. Kebanyakan artefak megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada saat kebudayaan Dongson (500 SM) berlangsung.
Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geologi sebab ia dibangun memanfaatkan sebuah bukit punggungan (puncak) lava andesit basaltik dan lava basaltik berumur Pliosen (2,1 juta tahun) yang terbuat dari tiang-tiang batuan andesit dan basal yang telah terlepas secara alami karena retakan oleh pendinginan lava (kekar tiang, columnar jointing). Batu-batu tiang ini kemudian ditambang manusia pada zaman itu untuk membangun punden berundak-undak.
Situs megalitikum Gunung Padang telah dibangun dalam harmoni geomantik untuk tujuan religius berupa penyembahan Sang Hyang atau sang penguasa alam saat itu yang oleh manusia pada masa tersebut diyakini bermukim di puncak Gunung Gede.
Gunung dalam kosmologi agama purba Jawa adalah personifikasi pemberi dan pengambil. Ia pemberi kesuburan tanah yang menumbuhkan tanaman untuk dimakan, tetapi ia juga sang pengambil yang letusannya bisa membinasakan siapa saja. Maka gunung harus disembah agar ia tak marah dan selalu memberi berkah.
Bahwa situs ini dipakai untuk tempat penyembahan dengan orientasi sang penguasa di Gunung Gede dibuktikan oleh kelima teras situs ini dari yang paling rendah (teras 1) sampai yang paling tinggi (teras 5) selalu diarahkan ke Gunung Gede. Di teras 2 terdapat dua menhir dan satu dolmen kecil yang kelihatannya dipakai untuk duduk, dan itu tepat mengarah ke puncak Gunung Gede. Arah rata-rata ini pun membentuk kelurusan dengan semua bukit atau gunung yang ada di sekitar Gunung Padang, yaitu Pasir Pogor, Gunung Kancana, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango.
Situs Gunung Padang pun secara geologi berada pada area yang secara kegempaan cukup aktif, yaitu tidak jauh dari Sesar Cimandiri. Sesar Cimandiri adalah sesar besar yang memanjang dari Teluk Palabuhan Ratu sampai sekitar Padalarang. Bila ada pengaktifan gaya geologi di sekitar Teluk Palabuhan Ratu atau Jawa Barat Selatan, maka sesar ini sering menjadi media penerus gaya goncangan gempa. Beberapa menhir yang terguling dan patah di area situs ini diperkirakan diakibatkan gempa.
Pembangunan situs ini juga, terutama di teras 1, telah cukup memperhatikan masalah kelabilan area ini yaitu dengan cara menyusun tiang-tiang batu secara mendatar dan saling menumpuk untuk penguatan. Dalam hubungannya dengan penyembahan, situs ini pun dapat dibangun dengan maksud agar manusia dijauhkan dari bencana gempa atau gunung api yang memang sumber-sumbernya tidak jauh dari Gunung Padang.
Tidak seperti banyak situs megalitikum lainnya (seperti Piramida, Stonehenge, Machu Picchu) yang dibangun untuk menyembah atau mengindahkan (dewa) Matahari, situs Gunung Padang dibangun untuk diorientasikan seluruhnya kepada Gunung Gede. Ini tampak dari pola bangunan punden berundaknya yang asimetris, tidak dibangun simetris ke semua sisi seperti Candi Borobudur, tetapi hanya ke satu sisi, yaitu Gunung Gede. Dengan demikian, Gunung Gede menempati posisi geomantik yang sangat kuat bagi situs Gunung Padang.
Yang unik dari situs megalitik Gunung Padang adalah ditemukannya bilah-bilah batuan yang diperuntukkan sebagai alat musik. Ini adalah penemuan pertama di Indonesia. Pada 2008, peneliti dari Bandung Fe Institute pernah meneliti musikologi situs ini dan menyimpulkan bahwa terdapat tiga bilah batu yang bisa mengeluarkan nada musik dengan dentingan (pitch) berfrekuensi dari 2.600-5.200 KHz selaras dengan nada-nada 'f', 'g', 'd', 'a'. Jika Anda mengambil batu basal kecil dan memukul-mukulkannya ke alat musik batu ini, akan terdengar bunyi dentingan yang tinggi dan teratur.
Dapat dibayangkan bahwa manusia pada zaman dahulu melakukan penyembahan dengan iringan musik-musik batu. Menurut cerita, konon penduduk kampung di bawah situs ini masih suka mendengarkan riuh musik dari bukit ini pada malam-malam tertentu.
Tak sulit mencapai situs ini. Dari Jakarta bisa ditempuh melalui jalur Puncak-Cianjur atau jalur Sukabumi. Jika melalui Puncak, dari Kota Cianjur perjalanan dilanjutkan melalui arah Sukabumi. Di kilometer 8, belok arah kiri menuju Desa Cikancana (Kecamatan Warungkondang)-Cibokor (Kecamatan Cibeber)-Lampegan (Kecamatan Cibeber)-Karyamukti (Kecamatan Campaka). Jika melalui Sukabumi, sebelum Kota Cianjur, belok arah kanan menuju Desa Cikancana dan seterusnya.
Perjalanan akan diwarnai pemandangan elok persawahan. Warungkondang adalah sentra penghasil padi Kabupaten Cianjur yang sohor dengan beras Pandawangi. Selain sawah, permukiman penduduk yang berselang-seling dengan kebun dan sungai bakal memanjakan mata.
Ada sebuah stasiun kereta api yang berdekatan dengan terowongan, yakni Stasiun Lampegan dan Terowongan Lampegan. Terowongan peninggalan zaman Belanda ini menembus Gunung Kendeng sejauh 750 meter, membatasi Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Sukabumi. Sayangnya, stasiun ini sudah lama kesepian karena sejak lima tahun belakangan tidak ada kereta api yang melintas.
Selanjutnya...