TEMPO.CO, Yogyakarta - Persoalan darurat sampah yang melanda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) beberapa bulan terakhir masih belum menemukan solusi yang benar-benar efektif. Masalah sampah tampak kian rumit karena Yogyakarta merupakan kota wisata yang ekonominya bergantung dari mobilitas manusia. Tingginya mobilitas wisatawan di Yogya berarti potensi volume sampah yang dihasilkan juga tinggi.
Sementara depo-depo sampah di Yogyakarta hingga Oktober ini masih sangat terbatas kapasitasnya. Semua ini akibat penutupan dan pembatasan volume di Tempat Pengolahan Akhir atau TPA Piyungan.
"Untuk mengatasi persoalan sampah di Yogyakarta ini, bisa menggunakan pendekatan penataan kawasan, seperti area Sumbu Filosofi," kata peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Riza Noer Arfani dalam forum yang mengulas persoalan kemasan plastik di Yogyakarta pada Jumat, 20 Oktober 2023.
Dalam forum bertajuk Manfaat Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dari Implementasi Circular Economy di Indonesia itu, Riza melihat Sumbu Filosofi Yogyakarta yang kini menjadi warisan budaya dunia itu, ibarat jangkar untuk mengembangkan sektor pariwisata Yogya yang tidak lagi berkiblat pada mass tourism atau wisata massal.
Sumbu Filosofi, ujar Riza, dikonsep mengatur perilaku sekaligus mobilitas manusia yang ujungnya meminimalisasi produksi sampah, terutama di area Jalan Malioboro. Hal ini terlihat dari diciptakannya dua kantung pusat ekonomi baru di Malioboro, yakni Teras Malioboro I di ujung selatan dan Teras Malioboro II di ujung utara.
Pengembangan Teras Malioboro untuk kantung usaha mikro kecil menengah (UMKM) itu sukses menggantikan aktivitas perdagangan yang sebelumnya penuh sesak memadati trotoar sepanjang sisi timur dan barat jalan Malioboro. Aktivitas itu mau tidak mau memicu produksi sampah lebih besar dan tersebar.
Keberadaan Teras Malioboro yang membagi klaster-klaster pedagang makanan-minuman juga cinderamata, diprediksi makin menekan dan melokalisasi produksi sampah itu.
"Mobilitas turis bisa dibandingkan dengan produksi sampah yang dihasilkan ketika kawasan Malioboro itu ditata dan sebelum ditata," kata Riza yang juga pakar bidang perdagangan dunia itu.
Riza menambahkan, penataan seperti di kawasan Sumbu Filosofi ini bisa menjadi pilot project mengatasi persoalan sampah di Yogyakarta secara umum.
Suci Lestari Yuana, dosen UGM yang juga peneliti Mundane Circular Economy dalam forum itu menuturkan, dari hasil riset dengan kalangan industri perhotelan di Yogyakarta, sejak pandemi Covid-19, perhotelan mulai ketat menaikkan standar infratruktur ramah lingkungan termasuk pengelolaan sampah.
"Namun standar operasional ramah lingkungan ini masih cederung diterapkan hotel hotel bintang 3 ke atas," kata Suci.
Praktisi bisnis Fauziah Syafarina Nasution dalam forum itu menuturkan salah satu persoalan sampah yang krusial dan kompleks di Indonesia berasal dari kemasan plastik bekas pakai.
"Untuk mengatasi persoalan kemasan plastik ini salah satu upaya dengan pemahaman circular economy di masyatakat," kata Fauziah yang juga menjabat Communications Manager Coca-Cola itu.
Circular economy yang dimaksud yakni konsep bahwa sampah kemasan plastik bisa memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar, mulai dari memberikan kehidupan kedua bagi plastik kemasan bekas pakai hingga memberikan lapangan kerja bagi masyarakat.
"Untuk mengatasi kemasan plastik lewat penerapan circular economy
ini tentu tidak bisa satu pihak bekerja sendirian," kata dia.
Sedangkan Ahmad Zakky Habibie dari lembaga Ancora Foundation menuturkan, gerakan "Plastic Reborn" yang digagas telah gencar memberi edukasi kalangan pelajar, mahasiswa dan masyarakat di Indonesia sejak 2017.
PRIBADI WICAKSONO
Pilihan Editor: UNESCO Akui Sumbu Filosofi Yogyakarta Warisan Budaya, Garis Imajiner Gunung Merapi - Tugu - Keraton - Pantai Selatan