TEMPO.CO, Jakarta - Pariwisata Thailand yang berada di titik nadir akibat virus corona, mendatangkan masalah lain. Selain meningkatnya jumlah pengangguran, gajah-gajah pun berpotensi menganggur.
Menukil New York Times, sepinya wisatawan mancanegara membuat pusat-pusat gajah tutup. Gajah-gajah itu terancam kembali kepada kehidupan lampau mereka: mengemis dan diperbantukan dalam operasi pencurian kayu di hutan.
Di utara Thailand, 85 taman wisata atau pusat gajah untuk sementara waktu menghentikan operasi karena kurangnya pengunjung, kata Borpit Chailert, General Manager Taman Gajah Maetaeng, yang berlokasi di utara kota Chiang Mai.
Meskipun dalam kondisi sulit, Taman Gajah Maetaeng, salah satu terbesar di negara itu, masih terbuka. Tetapi pengunjung turun hingga 90 persen, memaksa perusahaan mengurangi jam kerja karyawan. Taman itu. pada hari normal dikunjungi rata-rata 1.000-an pengunjung per hari. Namun, semasa musim wabah virus corona, Pada hari Sabtu, 28 Maret lalu, hanya dikunjungi empat wisatawan.
Thailand memiliki sekitar 3.800 gajah jinak. Melepaskan mereka ke dalam hutan, yang jadi habitat sekitar 3.000 gajah liar, bukanlah suatu pilihan yang tepat. Pasalnya melepasliarkan gajah jinak merupakan tindakan ilegal menurut hukum Thailand. Pasalnya, di hutan, gaja-gajah jinak itu akan bersaing dengan rekan-rekan liar mereka.
Baca Juga:
Gajah Thailand dan pawangnya di jalanan kota Bangkok, Thailand. AP/David Longstreath
“Mereka tidak dapat mencari makanan di hutan karena terbiasa diberi makan,” kata Borpit. “Bayangkan jika kami melepaskan sekitar 3.000 gajah jinak ke hutan pada saat yang sama. Tidak akan ada makanan untuk semua gajah."
Gajah adalah simbol nasional Thailand. Beberapa digunakan dalam operasi pembalakan selama beberapa generasi sebelum tahun 1989. Kala itu, Thailand menghadapi kerusakan hutan yang masif. Untuk menanggulanginya, pemerintah melarang semua aktivitas penebangan hutan, baik ilegal maupun legal.
Gajah-gajah jinak itu, lalu dipekerjakan di tempat-tempat wisata – umumnya dalam usaha kecil dengan selusin gajah. Wisatawan bisa memandikan dan menunggangi gajah-gajah jinak itu. Beberapa tempat yang lebih besar juga menawarkan wahana gajah.
Namun, melibatkan gajah dalam industri pariwisata juga mendatangkan kritik. Diberitakan The Travel Magazie, melibatkan gajah dalam bisnis pariwisata seringkali memaksa gajah bekerja keras. Para kritikus meminta diakhirinya penggunaan gajah dalam sirkus dan melarang wisatawan menungganginya.
Asosiasi Agen Perjalanan Inggris (ABTA) bahkan meminta wisatawan melihat gajah-gajah itu dari jauh, tak ikut memandikan atau mengendarainya. Agar prilaku hewan itu tak berubah, dan bergantung kepada manusia.
The York Times mengabarkan, sebuah kelompok yang mempromosikan kesejahteraan gajah di Thailand, Friends of the Asian Elephant Foundation, telah lama mendesak pemerintah untuk membentuk dana darurat pariwisata.
"Pendanaan ini penting karena tanpa penghasilan, dari mana pemilik gajah dan pemilik taman mendapatkan uang untuk membeli makanan untuk gajah?" kata salah satu pendiri dan sekretaris jenderal kelompok itu, Soraida Salwala. "Aku sangat khawatir dengan situasi ini."
Aksi seekor gajah menendang bola ke arah gawang dalam pertandingan sepak bola melawan siswa Sekolah Ayutthaya Wittayalai, di Provinsi Ayutthaya, Thailand, Selasa, 12 Juni 2018. AP Photo
Seekor gajah di taman wisata Thailand menghabiskan US$40 per hari. Theerapat Trungprakan, Presiden Asosiasi Aliansi Gajah Thailand, mengatakan sebagian besar gajah di tempat-tempat wisata Thailand disewa dari pemiliknya. Jika taman mengembalikannya, katanya, beberapa pemilik mungkin memutuskan mereka dibiarkan mengemis di jalanan.
Atau beberapa gajah bisa dipaksa untuk mengangkut kayu di sepanjang perbatasan dengan Myanmar dan Laos. Gajah-gajah itu akan berisiko menginjak ranjau darat yang tersisa dari konflik di wilayah tersebut, katanya.