TEMPO.CO, Jakarta - Seperti yang dilaporkan Al Jazeera, restoran-restoran di Cina kesulitan mengembalikan pelanggannya usai wabah virus corona. Bahkan riset S&P Global China dalam laporannya pada 19 Februari 2020 lalu, omzet bisnis restoran di Cina turun 55 persen dibanding kuartal pertama tahun lalu.
Parahnya lagi, menurut data Biro Statistik Nasional dirilis pada 16 Maret 2020 angka pengangguran resmi di Cina naik menjadi 6,2 persen pada Februari. Atau naik dari 5,3 persen dibanding setahun sebelumnya.
Angka-angka tersebut, bagaimanapun, tidak memperhitungkan sepenuhnya hilangnya pekerjaan untuk 300 juta atau lebih pekerja migran. Banyak dari mereka tidak memiliki kontrak resmi atau hanya bekerja pada kontrak kerja informal, terutama di restoran kecil dan menengah di seluruh Cina.
Menurut sebuah pernyataan dari Biro Statistik Nasional Cina yang dirilis pada bulan Januari 2020, industri katering menghasilkan 1,8 triliun yuan pada tahun 2019, yang merupakan 6,3 persen dari ekonomi. Sementara beberapa restoran mungkin lebih siap untuk bertahan, setiap hari keterlambatan pasokan bahan baku menambah tekanan signifikan.
"Kami telah ditutup selama lebih dari dua bulan sekarang dan masih belum tahu kapan kami dapat sepenuhnya melanjutkan, semua bisnis kami," Ms Chen, bukan nama sebenarnya, mengatakan kepada Al Jazeera.
Meskipun ia sudah diberi izin untuk membuka kembali restorannya, namun ia belum memulai usaha. Chen, 44 tahun, yang berspesialisasi dalam makanan ringan dan dim sum Kanton (pangsit kukus atau goreng dan makanan kecil lainnya), memiliki dua gerai dan mempekerjakan total 20 orang.
Pada akhir 2019, lebih dari 26 juta orang dipekerjakan oleh industri hotel dan katering, menurut data dari Dewan Negara, “Sekitar 60 persen dari jumlah itu, atau 15,5 juta, dari sisi katering,” kata Jacky Wong dari perusahaan konsultan Deloitte China kepada Al Jazeera.
Perkiraan jumlah orang yang bekerja di bisnis "rumah tangga" yang lebih kecil termasuk restoran kecil, bar dan kafe yang terabaikan statistik resmi, mencapai 200 juta, menurut perkiraan pemerintah, "Baik restoran berantai dan restoran non-waralaba pribadi terekspos risiko," kata Deloitte Wong.
Tetapi dia menambahkan bahwa dia belum melihat banyak kebangkrutan dilaporkan. Dan dia percaya industri katering terbukti fleksibel dengan memanfaatkan bisnis online, pengiriman dan bisnis takeaway.
Bahkan dengan pilihan itu, beberapa, seperti spesialis dim sum Chen, merasa sulit untuk memenuhi kebutuhan, "Kami masih harus membayar karyawan dan sewa," kata Chen. "Saat ini gaji bulanan mereka [untuk mereka yang belum bekerja] telah berkurang menjadi 80 persen tetapi kami masih membayar sewa penuh."
Untuk operator restoran asing seperti Spika dan Rob - pemilik restoran pizza yang dibuka di Chengdu, Sichuan, pada bulan Desember sebelum wabah - rintangan besar lainnya adalah mencari bahan-bahan baku asing melalui rantai pasokan internasional yang terganggu.
Pengunjung menyantap makanan di salah satu restoran di kawasan Kunming, Provinsi Yunnan, Cina, 15 Maret 2020. Dilansir dari Xinhua, Provinsi Yunnan menjadi salah satu wilayah setingkat provinsi di Cina yang dinyatakan telah terbebas dari infeksi COVID-19. Xinhua/Ding Yiquan
Masalah terbesar Spika adalah menemukan daging berkualitas, ikan segar bersumber dari penangkapan berkelanjutan, dan produk organik.
Bagi Rob, seorang warga negara Amerika Serikat berusia 39 tahun yang tidak ingin nama lengkapnya ditulis, mengatakan pembukaan kembali artinya belum tentu mendapatkan tepung, bacon, pepperoni, dan keju, "Hanya untuk mendapatkan persediaan adalah mimpi buruk," kata Rob kepada Al Jazeera.