TEMPO.CO, Bantul - Ayam kampung goreng kreasi Mbah Cemplung, yang berasal dari Bantul, terasa abadi. Kelezatan resep dari nenek sebatang kara itu awet hingga saat ini. Bumbu-bumbu rahasia yang lahir dari tangannya sejak 1973 diwariskan kepada Sadiyo, 67 tahun, pemilik warung Mbah Cemplung.
Mbah Cemplung yang meninggal pada usia 96 tahun bernama asli Rejo Sida. Dinamai Cemplung karena dia berasal dari nama tempat di daerah Pabrik Gula Madukismo.
Aroma sedap ayam goreng berwarna kuning keemasan menusuk hidung Rabu sore, 14 Desember 2016. Orang bisa pesan ayam ingkung utuh maupun potongan. Ayam dihidangkan bersama daun kemangi, mentimun, dan petai yang digoreng bersama kulitnya.
Sambalnya ada dua jenis, yaitu sambal bawang yang sangat pedas dan sambal tomat yang tidak begitu pedas. Minumnya bisa pilih wedang uwuh, minuman hangat dari aneka rempah-rempah yang bentuknya seperti sampah. Ada pula wedang tape ketan berwarna hijau.
Ayam goreng kampung itu terasa lebih gurih alami ketimbang ayam broiler atau ayam negeri. Sadiyo membeli ayam yang dilepas secara liar atau bukan ayam yang dikandangkan langsung dari penduduk yang tinggal di sekitar warung itu.
Peternak di antaranya berasal dari Kecamatan Kasihan, Sewon, dan Pajangan."Setiap pagi mereka bawa ayam hidup ke warung. Berapa pun jumlahnya kami terima," kata Sadiyo kepada Tempo.
Setiap hari, Sadiyo mengolah 40-50 ekor ayam. Saat musim libur tiba, ia memasak hingga 80 ekor ayam per hari. Harga ayam goreng utuh atau ingkung Rp 100 ribu-Rp 180 ribu. Ayam goreng yang dipotong harganya Rp 15 ribu – Rp 45 ribu.
Saat dihidangkan, ayam goreng terlihat keras. Ternyata ayam goreng itu sangat empuk. Sadiyo menjelaskan rahasianya. Ayam kampung itu dimasak dengan cara direbus selama empat jam dengan bumbu rahasia Warung Mbah Cemplung. Ayam lalu ditiriskan semalam penuh sebelum direbus kembali keesokan harinya.
Perebusan hingga dua kali itu untuk mengurangi lemak-lemak pada daging ayam. Perebusan ayam menggunakan api tungku berbahan bakar kayu jati, mahoni, dan akasia. Tujuannya menjaga cita rasa ayam agar tidak terkena bau minyak atau gas dari kompor.
Warung Mbah Cemplung lahir dari simpati Sadiyo terhadap Mbah Cemplung, perempuan yang hidup sendirian atau tidak punya keluarga.
Suatu hari, Sadiyo melihat Mbah Cemplung berjalan kaki menjajakan bubur, intip goreng, dan wedang uwuh. Dagangannya sepi, lalu Mbah Cemplung memasak ayam kampung goreng. Sadiyo tertarik melihat cara masak Mbah Cemplung yang tidak biasa, yaitu merebus ayam selama dua kali. Rasanya lebih gurih.
Sadiyo lantas memberinya modal berjualan kepada Mbah Cemplung pada 1973. Lambat laun warung itu semakin ramai dikunjungi. Resep masakan itu kemudian disempurnakan Kanti Widayati, 28 tahun, anak Sadiyo. Kanti punya pengalaman belajar tata boga di Sekolah Menengah Kejuruan di Yogyakarta.
Mbah Cemplung punya tempat spesial di hati Sadiyo dan keluarganya. Di warung itu dipajang foto Mbah Cemplung berukuran besar yang sedang menggendong ayam. Mbah Cemplung tampak mengenakan jarit. "Dari menolong itu menjadi berkah bagi keluarga kami hingga seperti sekarang," ujar Sadiyo.
Warung Mbah Cemplung berada di Dusun Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Kabupaten Bantul. Berjarak 15 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Dari ringroad atau jalan lingkar selatan (Jalan Bantul) menuju ke barat sampai ketemu rambu lalu lintas ke arah Pabrik Gula Madukismo.
Sebelum pabrik gula ada perempatan ke arah barat hingga bertemu jembatan. Berjarak 100 meter dari jembatan berjalanlah ke selatan sekitar 1 kilometer. Di sana terdapat papan besar bertuliskan ayam goreng Jawa Mbah Cemplung.
Suasana perkampungan menjadikan orang betah dan ketagihan ke warung Mbah Cemplung. Untuk menuju ke sana, orang melewati rimbunnya pepohonan kampung. Pengunjung bisa memilih makan di dalam warung, yang sebagian berlantai tanah. Meja dan kursi panjang berjajar terbuat dari kayu yang tidak dipernis atau dibiarkan alami. Bisa juga lesehan dan duduk di luar warung berpayung pohon kelapa.
Warung Mbah Cemplung semula hanya satu tempat. Usaha Sadiyo yang diteruskan tiga anaknya kini berkembang. Sadiyo memulai usahanya pertama kali dengan membuka warung kecil. "Dulu hanya ada dua meja panjang dan dua kursi panjang," tutur Sadiyo mengenang.
Kini, di depan warung kecil itu terdapat bangunan baru untuk menampung pengunjung yang membeludak. Setidaknya ada enam meja dan kursi panjang di sana. Bangunan itu berdiri dua tahun lalu. Tak jauh dari situ, masih di Kecamatan Kasihan, Sagiyo membuka cabang Warung Mbah Cemplung, yang dikelola anaknya bernama Wahyuningsih.
Warung Mbah Cemplung tidak pernah sepi dari pengunjung. Puluhan orang, ada yang rombongan dan orang per orang, mampir ke sana. Mereka datang silih berganti.
Warung buka mulai pukul 08.00-17.00 WIB. Pengunjungnya datang dari banyak tempat, bahkan dari mancanegara. Mereka berasal dari Australia, Spanyol, dan Amerika Serikat. Sejumlah artis juga menikmati ayam goreng legendaris itu. Di antaranya Cak Lontong dan Peggy Melati Sukma.
Pengunjung warung Mbah Cemplung asal Amerika Serikat, Bryan tampak lahap menyantap ayam Mbah Cemplung. Dia datang bersama isterinya. "Ayamnya empuk dan kami suka suasana desa," ucap Bryan.
SHINTA MAHARANI