Meliana sebenarnya bukan dari Kalimantan. Ia lahir di Temanggung, Jawa Tengah. Perempuan 35 tahun itu lalu pindah ke Pangkalan Bun karena tugas suaminya. “Sebelumnya, saya juga sempat tinggal di Pontianak,” ujarnya. Total sudah sebelas tahun ia tinggal di pulau terbesar di Indonesia itu.
Meliana punya hobi masak sejak remaja dan setiap kali makan di luar selalu menebak resep serta menirunya. Mantan pemilik restoran ini pun kerap berkeliling mencicipi hidangan lokal di tempat tinggalnya yang baru. Ia bahkan pernah belajar memasak dengan anak sultan terakhir Bulungan, Datuk Dissan Maulana, yang hidup berbaur dengan masyarakat Tarakan, Kalimantan Utara.
Menurut dia, penduduk Kalimantan memiliki “lidah” yang sangat berbeda. Rasa masakan Banjar, Kalimantan Selatan, cenderung manis. Mereka juga menggemari kue bersantan. Hidangan Pontianak, Kalimantan Barat, memiliki rasa asam-asin, sedangkan kuliner asli Samarinda, Kalimantan Timur, agak susah ditelusuri. “Samarinda adalah kota pertambangan, jadi banyak pendatang,” ujarnya. Tapi, yang jelas, semuanya menggemari terasi, “Walau rasanya berbeda-beda.”
Di Almond Zucchini, Meliana memasak hidangan khas suku Banjar, suku Dayak Kahayan di Kalimantan Tengah, suku Melayu Pontianak, Samarinda, peranakan Tionghoa Pontianak, dan makanan Pangkalan Bun. Beberapa pengunjung sempat menyangka Meliana mengadaptasinya dengan gaya hidangan Jawa atau daerah lainnya. Rasanya juga mungkin disesuaikan dengan lidah orang Jakarta. Tapi sang juru masak menyangkalnya. “Tidak, semuanya benar-benar otentik!”