TEMPO.CO, Jakarta - Tak banyak yang tahu masakan Dayak di luar komunitasnya. Bahkan yang tinggal di Kalimantan pun belum tentu mengenalnya. Contohnya Tiur Sitompul. Perempuan berdarah Batak ini lahir dan besar di Pontianak, Kalimantan Barat. Tapi masakan Dayak tidak pernah menjadi bagian dari menu keluarganya. Restoran lokal yang pernah ia coba pun hanya menjual masakan peranakan Cina. “Tak ada restoran dan komunitas yang menjajakan makanan itu,” ujarnya pada bulan lalu dalam acara “Temu Rasa Indonesia”, jamuan yang digelar komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI).
Itulah alasan Tiur dan puluhan pengunjung lainnya terkesima melihat lebih dari sepuluh hidangan, yang sebagian besar khas Dayak, berderet di meja pantry sanggar masak Almond Zucchini di Prapanca, Jakarta Selatan. Panci-panci besar menampung olahan ayam, daging, telur, serta udang yang kaya warna dan menggiurkan. Saya teringat pengalaman teman saya yang menyantap hidangan pedalaman Dayak yang, katanya, sederhana. Ini sama sekali tak seperti itu.
Semua masakan ini berasal dari lima provinsi di Kalimantan. Bahan-bahannya berasal dari produk hutan, seperti kelakai, sejenis paku-pakuan yang dipercaya membuat penyantapnya awet muda; darmi, kulit buah cempedak yang difermentasi; dan singkah enyuh, umbut kelapa yang diambil dari pohon yang berusia kurang dari 1,5 tahun. Semua tanaman itu ditata rapi di ujung meja.
Tiur masih bisa mengenali beberapa jenis bahan, seperti singkah enyuh, yang dulu biasa ia santap dengan santan. Tapi, pada malam itu, umbut kelapa itu dimasak dengan iga sapi. “Saya tak pernah melihatnya,” ujarnya. Ia juga baru pertama kali mencicipi Goreng Darmi, kulit buah cempedak yang dilumuri garam, gula, dan cabai. Rasanya gurih dan sedikit manis dengan tekstur renyah, mirip keripik umbi-umbian.