TEMPO.CO, Jakarta - Kota Solo, Jawa Tengah, dan Yogyakarta dikenal sebagai tempat berlangsungnya berbagai acara tradisional yang memiliki akar sejarah panjang. Salah satu tradisi yang menarik perhatian banyak wisatawan dan umat Islam adalah Sekaten. Perayaan tahunan ini telah berlangsung sejak abad ke-15 untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali, yakni setiap tiap tanggal 5 sampai 11 Rabiul Awal (atau dalam kalender Jawa disebut bulan Mulud), yang kemudian ditutup pada tanggal 12 Rabiul Awal dengan menyelenggarakan upacara Garebeg Mulud. Tahun ini, tanggal 5 Rabiul Awal yang menandakan dimulainya acara Sekaten, jatuh pada tanggal 9 September 2024.
Apa Itu Tradisi Sekaten?
Pada mulanya, Sekaten dilakukan sebagai bentuk selamatan atau sesaji untuk arwah leluhur di Tanah Hindu. Namun dalam perkembangannya, acara ini digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam, yakni untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dengan menggunakan kesenian gamelan. Pada saat itu, masyarakat banyak yang tertarik dengan kesenian Jawa dan gamelannya.
Acara Sekaten dimulai dengan Miyos Gongso atau pemindahan gamelan Sekaten yang sakral dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta. Gamelan tersebut adalah Gamelan Kyai Guntur Madu, yang diletakkan di Selatan atau sebelah kanan halaman masjid sebagai lambang Syahadat Tauhid. Satu lagi Gamelan Kyai Guntur Sari yang diletakkan di sebelah Utara atau sebelah kiri masjid sebagai lambang Syahadat Rasul. Gamelan kemudian akan dimainkan selama 7 hari berturut-turut, yakni tanggal 5 sampai 12 Rabiul Awal.
Puncak Perayaan Sekaten Grebeg Maulud
Puncak dari perayaan Sekaten adalah upacara Grebeg Maulud, yang merupakan simbol syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan, serta bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Grebeg Maulud biasanya berlangsung pada hari ke-12 bulan Rabiul Awal, tepat pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada Grebeg Maulud, acara dimulai dengan iring-iringan gunungan (tumpukan bahan pangan berupa sayuran, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya) yang diarak dari Keraton Solo menuju Masjid Agung Solo. Ada enam macam gunungan yang dibawa dan masing-masing memiliki maknanya tersendiri; Gunungan Kakung melambangkan pribadi baginda raja, Gunungan Putri melambangkan pribadi permaisuri baginda, Gunungan Dharat melambangkan para pangeran, Gunungan Gepak melambangkan para putri baginda raja, Gunungan Pawuhan melambangkan cucu baginda, dan Gunungan Picisan.
Setelah para abdi dalem dan kerabat keraton mendoakan, gunungan dibagikan kepada masyarakat yang hadir. Masyarakat berebut mendapatkan bagian dari gunungan tersebut, karena mereka percaya jika makan dari bahan-bahan gunungan Sekaten akan mendapat berkah dan kelancaran rezeki.
Tradisi Sekaten juga berlangsung di Yogyakarta pada saat yang sama. Tradisi ini menjadi salah satu daya tarik wisata di kedua daerah tersebut.
WILNA LIANA AZ ZAHRA
Pilihan Editor: Gamelan Sekaten Keraton Surakarta Mulai Ditabuh Non Stop Sepekan