La Pawawoi meninggal pada 17 Januari 1911. Museum La Pawawoi menyimpan ratusan koleksi berupa peralatan dapur, pakaian adat, dan senjata. Selain itu terdapat pula koleksi keramik yang sebagian besar merupakan peralatan makan raja-raja Bone.
Ada juga stempel kerajaan Bone dan miniatur perahu phinisi. Pengunjung juga bisa membaca silsilah Kerajaan Bone dari awal hingga akhir.
Puang Matoa Ancu kembali menceritakan pengalamannya saat pentahbisan. Dia menerima kedatangan orang tuanya di museum itu. Ia tak pernah membenci atau dendam kepada orang tua dan saudara-saudaranya.
Dia justru mengasihi mereka dengan cara menopang kehidupan ekonomi keluarga dan membiayai sekolah adik-adiknya. Puang Matoa Ancu bekerja keras hingga berhasil membangun usaha dekorasi dan rias pengantin.
Sebelum menjadi bissu, Puang Matoa Ancu mengalami serangkaian kekerasan dari orang tua dan saudara-saudara laki-lakinya. Ayahnya kerap mencambuk dan memukulinya karena menjadi waria. Puang Matoa Ancu sering kabur dari rumah karena tidak tahan dengan kekerasan itu. Dia terus mempertahankan jati diri sebagai waria hingga sukses menjadi imam bissu menggantikan imam bissu, Daeng Tawero yang meninggal pada 2013.
Cinta kasih itu ia pelajari saat menjalani pelatihan atau penggemblengan dari dua tokoh bissu zaman kerajaan dan keturunan raja, Puang Loloningo dan Husein. Mereka menjalani semedi, melatih kesabaran, kejernihan berpikir, dan melatih ketenangan dalam kesunyian istana.
Foto-foto para bissu di Museum La Pawawoi di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Senin, 26 Juni 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)
Mereka juga secara khusyuk mempelajari mantra-mantra bahasa Torilangi, bahasa Galigo atau bahasa dewa. Mantra-mantra itu dipercaya membuat tubuh mereka kebal terhadap senjata tajam saat membawakan tari maggiri atau tari tusuk diri. Bahasa Torilangi menjadi sumber bahasa etnis Bugis, Toraja, Makassar, Mandar, dan Gorontalo yang kerap dikaji peneliti asing.
Semua bissu menjalani pelatihan dan mendapatkan wejangan dari bissu-bissu kerajaan di rumah adat Bone, Bola Soba yang terletak di Jalan Latenritatta, Kelurahan Manurunge, Tanete Riattang. Rumah adat itu terbakar pada 20 Maret 2021, menjelang peringatan hari kelahiran Bone setiap 6 April. Kini yang tersisa hanya kerangka bangunan yang hangus.
Balo Soba, Replika Kerajaan Bone
Bola Soba menjadi ikon Kabupaten Bone karena memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Bangunan ini merupakan replika dari Kerajaan Bone yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri Tahun 1890.
Bola Soba berarti rumah para sahabat, satria, dan pendekar pembela kerajaan Bone. "Para bissu dahulu tinggal di istana itu dan wajib mengikuti pelatihan para inang bissu," tutur Puang Matoa Ancu.
Warga Bone yang juga guru Sekolah Menengah Kejuruan, Andi Irma mengatakan masyarakat menghormati bissu karena mereka punya peran penting dan kedudukan terhormat pada masa Kerajaan Bone. Bissu selama ini tak pernah absen mengisi acara peringatan Hari Jadi Bone, kecuali dalam dua tahun terakhir. "Mereka manusia sakti karena tubuhnya kebal dari benda tajam saat menarikan tari Maggiri," kata dia.
Selain menyimbolkan kekuatan, tari itu juga memiliki makna kelembutan. Andi Irma sangat antusias menceritakan kehebatan para bissu yang memutar-mutarkan keris dan menancapkan ke bagian tubuh seperti mata, pelipis, dan perut. Mereka juga mengoles-oleskan api obor ke tubuh. Bissu lolos dari tusukan dan tak terbakar setelah merapal mantra.
Tapi, tak semua bissu lepas dari tusukan keris. Puang Matoa Ancu pernah gagal dua kali dan tertusuk pada pelipis dan perut. "Itu artinya ada bagian yang salah, tidak fokus, dan kurang jernih dalam berpikir," ujar dia.
Pilihan Editor: Jalan Sunyi Bissu Terakhir Bone