Rumah-rumah batu beratap ilalang berusia lebih dari 1.200 tahun tetap bertahan hingga sekarang. Berbagai ornamen kampung tetap bertahan dari bebatuan, seperti fondasi rumah, makam leluhur, tempat upacara adat, dan panggung pertemuan adat.
Batu besar menjulang menyerupai payung di tengah kampung, disebut ngadhu, berfungsi sebagai tempat ibadah dan dipercaya sebagai media penghubung warga Bena dengan leluhur mereka di puncak Gunung Inerie. Sedangkan bhaga, rumah panggung beratap ilalang, berfungsi sebagai tempat upacara adat.
Warga Kampung Bena menganut sistem matriarki. Setelah menikah, laki-laki akan mengikuti keluarga perempuan pergi ke luar kampung. Festival Bena, yang diadakan setiap Natal, akan kembali menyatukan ikatan kekerabatan mereka. Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tempat ini bisa ditempuh sekitar 30 menit dengan mobil dari Kota Bajawa, ibu kota Ngada.
Kampung adat Bena, Flores. Tempo/Francisca Christy Rosana
Suku Korowai, Papua
Suku Korowai baru ditemukan 30 tahun silam. Selama berabad-abad, keberadaan mereka tersembunyi di belantara Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua. Tepatnya di selatan kaki Pegunungan Jayawijaya. Sebelumnya, mereka bahkan tak tahu ada manusia selain suku mereka sendiri.
Itu sebabnya kebudayaan mereka berbeda dengan suku Papua lainnya. Salah satunya, tak menggunakan koteka. Kaum pria menggunakan akar pohon untuk menutup alat kelaminnya. Sekitar 3.000 orang suku Korowai hingga sekarang masih hidup dengan tradisinya. Tiap keluarga membangun rumah di atas pohon liar setinggi 15-50 meter untuk menghindari roh jahat dan binatang buas. Dari ketinggian rumah mereka, terhampar permadani hijau pepohonan Papua yang menakjubkan.
Dulu kabar tentang kanibalisme suku Korowai sempat beredar. Saat ini hal itu tak ada lagi. Kanibalisme saat itu hanya dilakukan sebagai hukuman. Sekarang mereka akan senang hati menerima tamu menginap di rumah dan hidup seperti mereka. Menikmati kesunyian. Di sana, waktu terasa berhenti.
Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur
Hanya ada satu akses menunju Wae Rebo, kampung yang masih memelihara rumah adat berbentuk kerucut: berjalan kaki membelah kawasan hutan lindung Gunung Todo Repok seluas 10.500 hektare.
Jalan setapak yang lebarnya hanya 30 sentimeter ini dapat ditempuh hanya 1,5-2 jam oleh penduduk setempat. Jangan kaget kalau melihat mereka mampu berjalan telanjang kaki dan minus ngos-ngosan.
Semua rasa lelah akan hilang begitu melihat tujuh rumah adat berbentuk tumpeng warna hitam yang disebut mbaru niang. Wisatawan dipersilakan tinggal di mbaru niang, makan hidangan lokal, hingga bersih-bersih di sungai. Fasilitasnya memang tak seperti hotel. Tapi kehangatan dan kesederhanaan masyarakat di sana cukup membuat kerasan.
Wisatawan juga bisa mempelajari kebudayaan setempat dan arsitektur mbaru niang yang tanpa paku dan atap. Harga semua fasilitas tersebut hanya Rp 150 ribu per malam.
Kalau datang dari luar Flores, turis biasanya tiba melalui Labuan Bajo, lanjut melalui darat selama lima jam ke Denge, Kecamatan Satarmese, Manggarai. Setelah menginap semalam di rumah penduduk, perjalanan berlanjut ke Kampung Kombo. Barulah nanti menemukan jalan setapak menuju Wae Rebo.
Tujuh rumah adat berbentuk tumpeng warna hitam yang disebut mbaru niang. TEMPO
Long Berini, Kalimantan Utara
Di Long Berini, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, seni-budaya Dayak masih dijaga. Meski busana masyarakat di sana sudah seperti orang kebanyakan, namun mereka masih tinggal di rumah panggung dan apa yang mereka makan, sedikit-banyak, bergantung pada keramahan alam.
Adalah Dan Udau, tetua kampung itu, yang berjasa menjaga adat di kampung tepi Sungai Hulu Bahau ini. Dia mahir memainkan sampe'—gitar berdawai tiga khas Dayak. Setiap hari, rumah Dan Udau penuh dengan anak muda yang ingin berlatih menari dan menyanyikan lagu-lagu warisan orang tua mereka. Di Long Berini, seni dan budaya Dayak mengalir bersama di urat nadi.