TEMPO.CO, Manggar - Tawa-tawa membahana di warung Anui, salah satu warung kopi yang terkenal di Manggar, Belitung, pagi itu. Kadang, saking serunya obrolan, meja pun bisa berulang kali digebrak. "Ini sudah biasa, jangan kaget, itu bukan mau ribut," ujar Suhairi. "Di warung kopi, apa saja bisa dibahas. Kadang obrolannya bisa lebih ramai, lebih panas, daripada berita televisi."
Datang sendiri tanpa kawan pagi itu tak membuat Suhairi kesepian. Ia biasa menikmati keramaian yang hadir dari meja lain. Setelah kopi tandas dan merasa cukup beristirahat, Suhairi kembali menggenjot ontel tuanya pulang menuju Kampung Gunung, sekitar 3 kilometer dari kawasan warung kopi. "Sudah waktunya menyiram tanaman di rumah," ucapnya sebelum pamit.
Kedai Anui saat ini sudah diwariskan kepada generasi kedua. Tidak banyak perubahan pada kondisi bangunan warung. Demikian pula halnya dengan menu kopi yang disajikan. Ani, menantu almarhum Anuy, kini ikut mengelola warung kopi mertuanya itu semenjak menikah dengan putra Anuy.
Baca juga: Romantika Warung Kopi Manggar, Sejarah Panjang Sebuah Warung Kopi (3)
Meski sudah ada di tangan generasi kedua, warung Anui masih memakai cara lama. Di sini, kopi masih dipanaskan di atas tungku arang, bukan kompor seperti di warung-warung lain. "Aromanya beda kalau pakai arang, dan itu yang pelanggan cari," kata Ani.
Baca Juga:
Kesamaan warung-warung kopi di Manggar ini adalah kesederhanaan kopi yang disuguhkan. Tak ada kopi-kopi dengan aneka produk olahan semacam cappuccino, espresso, frappe, atau latte. Tak juga menggunakan beragam jenis pengolahan dengan ragam alat modern. Kopi diseduh bersama air panas dalam sebuah panci yang terus-menerus dipanaskan di atas api, ada yang menggunakan arang, ada yang memakai kompor. Kopi lantas diangkat menggunakan saringan kain halus untuk memisahkan ampasnya. Cara penyajiannya mirip dengan penyajian kopi di Aceh, dan ini sudah menjadi tradisi turun-temurun. Pilihannya pun hanya disajikan dengan atau tanpa susu. Sesederhana itu.
Banyaknya warung kopi di Manggar tak berbanding lurus dengan keberadaan perkebunan kopi di kawasan pesisir tersebut. Jelas, kondisi geografis memang kurang mendukung. Kopi-kopi yang disajikan di warung-warung didatangkan dari Lampung. Menurut Wendy, 32 tahun, pemilik toko Sumber Kopi, penyuplai kopi di Manggar, rata-rata kopi yang digunakan berjenis robusta.
Baca juga: Mencicipi Romantika Warung Kopi Manggar, Kota 1001 Kopi (1)
Wendy mendapatkan kopi dari Lampung, lalu di-roasting di Jakarta. Barulah penggilingan hingga pengemasan dilakukan di Manggar. Biji kopi, menurut dia, utuh. Tak memakai bahan campuran seperti jagung dan lainnya. Wendy adalah generasi kedua yang melanjutkan bisnis penggilingan kopi di Manggar. Hampir semua warung kopi menggunakan kopi dari Sumber Kopi. "Cocok-cocokan, ada yang ke sini, ada yang ke tempat lain," ujarnya.
Dari sekian banyak warung kopi di Manggar, kira-kira 500 meter dari warung Acin, ada warung kopi Millennium yang dikelola pasangan suami-istri. Warung ini didirikan pada 1998. "Waktu rusuh 1998 di Jakarta, kami pindah ke sini dan mulai mendirikan warung kopi," tutur Eva Markus, 42 tahun.
Eva dan suami memulai bisnis warung kopi dari awal. Semakin berkembang usahanya, beberapa menu pun ditambah. Agak lain dari warung kopi pada umumnya, di Millennium, bisa kita menemukan menu lain, seperti cappuccino. Jenis makanan pelengkapnya pun lebih banyak, tak hanya mi rebus atau gorengan. Menurut dia, inovasi perlu dilakukan. Apalagi segalanya selalu berkembang dari waktu ke waktu. Sajian menu yang cukup berbeda menjadi daya tarik bagi kaum muda, yang memang terlihat lebih mendominasi jadi pengunjung Millennium. Eva pun menggiling sendiri biji kopi di rumahnya.
Bersambung ke bagian 3: Romantika Warung Kopi Manggar, Toleransi Sebuah Warung Kopi (3)
AISHA SHAIDRA