Saya memilih kembali ke anjungan. Kapten Muhadu sudah kembali ke kamarnya. Hanya ada seorang mualim dan seorang juru mudi di anjungan yang dibiarkan gelap. Sejauh mata memandang, hamparan laut lepas dan tenang menghanyutkan.
Anggra, juru mudi kapal menuturkan, ia sudah empat tahun berlayar dengan Dobonsolo. “Selepas STM, saya ambil sertifikat juru mudi,” ucap pemuda 27 tahun ini. Gajinya tiap bulan Rp 5 juta. “Tiap dua bulan sekali mendarat selama dua minggu,” ujarnya.
Meski sudah empat tahun berlayar, Anggra mengakui ia tak pernah mengalami hal yang mengerikan seperti dibajak. “Kalau kapten mungkin, dia sudah 15 tahun jadi nakhoda kapal,” katanya. Lantaran tak ingin mengganggunya, saya memutuskan kembali ke kamar. Apalagi, ombak makin terasa menghela badan kami. Saya mulai mual dan mabuk laut.
“Ini baru Laut Jawa ya, dan kapal besar. Angin dari barat hanya mendorong kapal. Kalau di Indonesia timur, angin dari barat menubruk badan kapal sehingga kayak diombang-ambing,” ujar Anggra.
Mulai tengah malam, bayangan mudik menyenangkan menjadi mimpi buruk bagi penumpang kapal dengan jam terbang amat minim. Ombak menggulung di lautan sampai empat meteran. Saya mencoba melupakan mabuk laut dengan tidur. Tapi tidur rupanya tidak ampuh benar. Pada dini hari, saya terbangun dengan perasaan ingin muntah. Di toilet, saya keluarkan semua isi perut.
Agar tidak makin parah, saya setengah berlari menuju dek mencari udara segar. Tapi ternyata angin terasa amat kencang sehingga berisiko masuk angin. Dinginnya bukan main. Kepusingan saya baru terjawab esoknya saat berbincang dengan Muhadu usai menikmati sunrise yang luar biasa indahnya, tak lama setelah kapal sandar di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, tepat pukul 6 Wib.
Menurut dia, angin laut sedikit tidak bersahabat pada bulan Juni-Juli. “Kalau mau jalan-jalan naik kapal ke Indonesia timur, berangkat bulan Maret-April atau September-Oktober. Ombaknya ga tinggi dan nyaman menumpang kapal,” ucapnya.
Saat berbincang dengan Kapten Muhadu, ia meminta pemerintah juga memperhatikan pemudik di luar Jawa. “Kapal ini melayani Indonesia bagian timur yang jumlah armadanya ga sampai sepuluh tapi selalu dipenuhi penumpang. Dengan kapal dipakai mudik gratis pemudik dari Jawa, antrean pemudik di luar Jawa padat sekali,” ucapnya.
Saya pun berpamitan sambil mengucapkan terima kasih telah mendapatkan kesempatan menumpang kapal secara gratis. Bebas macet dan tidak stres. Meski sempat mual, perjalanan lebih banyak menyenangkan.
Dari atas kapal, saya melihat para panitia mudik mengatur agar lalu lintas sepeda motor pemudik keluar dengan tertib oleh porter. Para pemudik diminta menanti di dalam tenda yang sudah disiapkan. Wajah mereka bahagia. Tak tampak kelelahan. Sebentar lagi, kerinduan mereka akan kampung halaman akan tertuntaskan.
ISTIQOMATUL HAYATI