TEMPO.CO, Makassar - Alunan rindik—alat musik dari bambu—terdengar merdu di antara lebatnya hutan di Dusun Delod Umah, Desa Pengotan, Kabupaten Bangli, Bali. Tangan Nangrai, 68 tahun, dan Nangsalin, 49 tahun, tampak lincah melompat-lompat di atas potongan-potongan bambu. Tiap nada slendro yang tercipta membuat suasana hati tenang dan damai.
Udara dingin dan semerbak bau dupa membuat alunan terdengar indah di telinga. Nada-nada yang tercipta seakan melantunkan nyanyian alam desa.
Dusun Delod Umah, lebih dikenal dengan sebutan Pengotan, terletak pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Berjarak 70 kilometer dari Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, sekitar 5 kilometer sebelah selatan Danau Batur, atau 15 kilometer sebelah utara Bangli.
Pengotan berpenghuni 150 keluarga. Mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu. Adapun kehidupan sehari-hari masyarakatnya masih menjalankan budaya dan adat istiadat Bali kuno.
Kata "Pengotan" bermakna Bali Purba dengan tiga mata suci naga barong, yakni upacara ngaben (penguburan), pernikahan massal, dan budaya atau tradisi. “Selama ini yang terkenal hanya Ubud dan Kutai. Kecuali ada tamu nyasar, baru mereka mengenal Pengotan,” kata I Nyoman Nyiarga, 52 tahun, Kepala Dusun Pengotan.
Menurut dia, peninggalan leluhur mereka terlihat jelas dari deretan rumah penduduk yang hidup berkelompok dalam benteng-benteng kecil. Mereka merupakan satu keluarga besar. Jadi pelancong tidak akan mendapatkan rumah yang berdiri sendiri terpisah dari kelompoknya.
Tak jauh dari rumah penduduk, berdiri kawasan pemujaan leluhur yang juga dipagari benteng kecil. Sepintas, pemandangannya seperti kawasan hunian yang tertata apik, dengan deretan rumah kecil berukuran 6 x 4 meter dan tinggi 2,5 meter. Rumah-rumah yang terbuat dari susunan batako itu saling berhadapan, dipisahkan lorong selebar 2 meter.
Namun kita tak akan menjumpai seorang pun. Kawasan ini merupakan rumah leluhur masyarakat Pengotan. Setiap keluarga memiliki sepasang rumah leluhur, yakni Meten dan Bale. Rumah Meten berarti dapur, sementara Bale berarti sajian. Kedua rumah ini difungsikan saat menggelar acara keagamaan dan adat. “Jumlah rumah sama dengan jumlah penduduk,” kata I Nyoman Sama, 40 tahun, penduduk Desa Pengotan yang kebetulan mampir di rumah leluhurnya.
Sama datang ke rumah Meten dan Bale ini untuk memasak sesajian bagi leluhur. Terkadang ia juga datang menginap semalam untuk melepas rindu kepada leluhurnya.
Peninggalan Bali kuno juga dapat disaksikan dalam kegiatan bercocok tanam tradisional yang masih diterapkan. Mereka sangat pantang menebang pohon. Dalam bidang pertanian, mereka memilih bercocok tanam sayuran, jagung, kopi, cabai, kentang, dan jeruk. Mereka juga piawai dalam beternak babi, sapi, dan unggas.
Semua dilakukan dengan cara tradisional tanpa melawan hukum adat yang telah ada. “Kami selalu musyawarah dengan ketua adat jika melakukan pembangunan,” kata Ni Nurgah Rani, 38 tahun, sambil menyelesaikan anyaman keranjang pindan dari bambu untuk dijadikan tempat buah dan sayuran.
Menurut Ni Nurgah Rani, mereka menjaga alam dengan tidak menggunakan alat-alat modern. Mereka lebih memilih menggunakan sabit, cangkul, pupuk alam dari kotoran binatang, keranjang anyaman, air sungai, dan menggali sumur. “Hasil pertanian dan ternak dimakan, dan sisanya dijual ke pasar. Semuanya dilakukan dengan cara tradisional,” katanya.
Memiliki alam desa yang asri dan senantiasa terjaga membuat desa ini memperoleh penghargaan di bidang kehutanan dan pertanian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi, meski telah menjaga tradisi leluhur, Desa Pengotan kurang mendapat perhatian pembangunan dari pemerintah Bali.
Banyak warga yang hidup dalam kemiskinan, pengangguran tinggi, muda-mudinya kebanyakan putus sekolah dan menikah dalam usia muda. Satu-satunya tumpuan harapan kelangsungan kehidupan warga setempat adalah bertani dan beternak.
SULFAEDAR PAY