TEMPO.CO, Jakarta - Matahari sudah di puncak kepala, waktu makan siang tiba. Berderet menu khas Maluku tertata di atas meja makan rumah singgah atau home stay Ibu Fauziah, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. Misalnya penganan papeda atau bubur sagu, pisang mulut bebek goreng, ikan bubara ruo pedas, ikan tongkol kuah kuning, tumisan daun dan bunga pepaya, serta ikan tuna asap.
Sama seperti penduduk Indonesia timur, masyarakat Jailolo membuat papeda dari pohon sagu (metroxhylon rumpii). Ketika pohon sagu berusia sepuluh tahun, masyarakat mengolah serat dalam batang menjadi tepung seberat 80-100 kilogram. Serat itu yang menjadi bahan utama pembuatan papeda.
Seperti nasi atau jagung, papeda juga mengandung karbohidrat. Karena itu, masyarakat Jailolo menjadikannya sebagai makanan pokok yang disantap tiap hari. Seperti nama lainnya, bubur sagu, tekstur papeda sangat kenyal, lengket seperti lem, dan berwarna putih bening.
Karena lengket, papeda tidak bisa disendok begitu saja dari wadahnya. Agar mudah, papeda diambil menggunakan sumpit yang dipegang kedua tangan. Gerakan sumpit seperti sedang menggulung benang dengan cepat. Setelah papeda terputus dari gumpalan besarnya, tuanglah ke piring.
Sebagai makanan khas, papeda juga dimakan dengan cara tertentu. Yakni langsung dipegang tangan dan diseruput layaknya memakan mi instan atau kuah sayur. Ketika papeda menyentuh mulut, tidak ada rasa yang terkecap alias hambar. Makin ke dalam menuju tenggorokan, terasa kenyal plus lengket di mulut. Benar-benar seperti lem kertas.
“Makan papeda-nya pakai kuah kuning dan daging ikan bubara rao biar ada rasa,” kata Ibu Fauziah, si empunya home stay.
Dan benar, ketika papeda disiram kuah kuning dan ikan bubara rao, manis dan asam meramai rasa olahan sagu itu. Enak. Tumisan daun dan bunga pepaya membuat papeda menjadi serat. Sambal kacangnya memberi sensasi pedas, sedangkan timun serta kacang panjang menimbulkan kesegaran.
Sebetulnya kuah kuning tidak hanya berfungsi sebagai penyedap rasa papeda. Kuah ikan tongkol digunakan untuk melunturkan efek lengket papeda ke piring sehingga piring bekas santapan papeda tidak sulit untuk dicuci.
Kata Ibu Fauziah, papeda dibuat dengan cara mencampurkan sagu dengan air, garam, dan gula. Setelah sagu larut, tuangkan air mendidih ke dalam larutan. “Terus aduk-aduk larutan sagu hingga mengental dan berwarna bening,” ujar Ibu Fauziah.
Untuk camilannya ada pisang mulut bebek. Kenapa bernama mulut bebek, karena bentuknya melengkung seperti cecongor hewan unggas itu. Mulut bebek bisa diolah dengan dua cara, digoreng serta direbus dalam santan, disebut pisang santang.
Pisang mulut bebek goreng berupa irisan tipis dan dimakan dengan sambal kacang. Sedangkan mulut bebek santang berupa satu pisang utuh yang direbus dalam air santan hingga sari kelapa itu menggumpal dan menempel di badan buah. Ketika digigit, rasa pisang santang agak sepat seperti talas asal Bogor.
“Mulut bebek dipilih yang masih muda, belum matang, biar tidak hancur waktu direbus,” ujar Ibu Fauziah.
Kalau datang ke Festival Teluk Jailolo, 16-19 Mei 2012, Anda cukup menyediakan uang sekitar Rp 100 ribu-Rp 528 ribu untuk bermalam. Untuk pilihan tempat menginap, Jailolo memiliki banyak rumah singgah. Ada juga hotel bernama De’ Hoek. Tapi tidak semua penginapan menyajikan makanan khas Maluku. Sedangkan di home stay Ibu Fauziah, Anda bisa mendapatkan kamar dan makanan khas Maluku dengan harga Rp 150 ribu.
Memakan papeda tidak perlu dalam porsi besar. Karena mengandung banyak air, santapan ini membuat perut cepat kenyang.
CORNILA DESYANA