TEMPO.CO, Jakarta - Observatorium Nasional (Obnas) di Gunung Timau, Nusa Tenggara Timur (NTT), akan segera beroperasi. Saat ini pembangunan tengah memasuki tahap akhir. Menurut peneliti di Direktorat Kebijakan Lingkungan Hidup, Sumber Daya Alam, Kemaritiman, dan Ketenaganukliran Badan Riset Inovasi Nasional Intan Perwitasari, salah satu roadmap pembangunan ini adalah pengembangan wisata dari pengoperasian Observatorium Nasional Timau.
“Pengembangan wisata di Timau ini juga melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat lokal,” katanya kepada Tempo, Senin 2 September 2024.
Kunjungan Wisatawan
Menurut Intan, diperkirakan pada akhir tahun ini atau awal tahun depan Obnas telah mulai beroperasi. Seperti di Observatorium Bosscha Lembang, kunjungan ke Obnas Timau akan akan dibuka dengan pengaturan. Pengaturan pengunjung nanti disesuaikan dengan fungsi utama Obnas sebagai wahana riset astronomi.
Pengembangan wisata di luar Obnas Timau dikaji lewat riset awal, misalnya terkait kondisi polusi cahaya serta potensi astrotourism. “Wisata ini untuk menikmati langit gelap di malam hari,” katanya.
BRIN saat ini sedang berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan industri wisata baru di sekitar lokasi Obnas Timau.
Zona Obnas Timau
Zona inti Obnas Timau, kata Intan, seluas 34 hektare. Kemudian sesuai standar internasional, zona inti Obnas juga harus bebas dari polusi cahaya hingga radius 15 kilometer dan bebas dari interferensi frekuensi radio agar tidak mengganggu radio astronomi hingga radius 25 kilometer.
“Kemudian di luar zona inti, ada kawasan penyangga yang kita sebuat sebagai Taman Langit Gelap,” ujarnya.
Taman Langit Gelap merupakan istilah bagi area di mana pengamat termasuk publik bisa melihat benda-benda langit seperti bintang, planet, dan galaksi Bima Sakti secara langsung atau dengan bantuan teropong.
“Timau ini menjadi destinasi yang sangat menarik karena ketika cuacanya sangat bagus, kita bisa melihat langsung langit malam atau dengan kamera,” kata Intan.
Waktu yang bagus untuk melihat langit malam ini antara Juli, Agustus, dan September.
Destinasi Wisata Pendukung
Para pendaki Gunung Timau biasanya juga bermalam untuk menikmati keindahan langit. Setelah matahari terbit atau sunrise, mereka kembali turun. Selain itu menurut Intan, ada aktivitas pendukung bagi wisatawan saat hari terang seperti menikmati hamparan sabana dan kuda-kuda penduduk, serta wisata yang terkait dengan potensi ekonomi masyarakat lokal. Dari hasil kajian riset awal BRIN, Desa Bitobe, Desa Fatumonas, dan Desa Lelogama, berpotensi untuk mengembangkan destinasi wisata pendukung wisata astronomi.
Fasilitas akomodasi, seperti glamping atau homestay di sekitar Observatorium Nasional Timau, menurut Intan bisa disediakan oleh pemerintah daerah bagi masyarakat atau turis yang ingin menikmati langit malam. Selain itu, ada komoditas lokal yang punya nilai jual tinggi, seperti madu hutan dan produk pertanian. BRIN menurut Intan akan menjaga agar pengembangan wisata tidak menghasilkan polusi cahaya juga sampah berlebih.
Pilihan Editor: Observatorium Bosscha Buka Kunjungan Publik, Perang Tiket Masih Berlanjut