Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tak Hanya Sebagai Tokoh Pers, Djamaluddin Adinegoro adalah Travel Writer Indonesia

Reporter

image-gnews
Djamaluddin Adinegoro. Wikipedia
Djamaluddin Adinegoro. Wikipedia
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Djamaluddin Adinegoro selama ini dikenal sebagai tokoh pers Indonesia. Ia adalah pelapor jurnalis di Tanah Air. Bagi traveler, Djamaluddin Adinegoro juga merupakan travel writer atau penulis perjalanan. Tulisan-tulisannya yang merupakan laporan perjalanannya di Eropa, memberikan informasi bagi penikmat jalan tentang dunia di luar. 

Nama Adinegoro, terukir di sebuah jalan di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Tapi tak banyak yang tahu apa perannya terhadap kemerdekaan Indonesia. Padahal, Padang Pariaman, tak terlalu jauh dari Sawahlunto, kampung halamannya. Kedua kota itu masih dalam satu provinsi di Sumatera Barat. 

Untuk berkenalan dengan Adinegoro, sempatkan mampir ke Museum Mbah Suro di Sawahlunto, kota tambang batubara yang dulu sempat jaya di pedalaman Sumatera Barat. Dinding museum itu penuh dengan reproduksi foto-foto zaman dahulu dan poster-poster berbau sejarah. Adinegoro ada dalam salah satu bingkai foto itu.

Adinegoro merupakan adik Muhammad Yamin, salah seorang tokoh Sumpah Pemuda. Ia satu ayah beda ibu dengan Yamin. Nama asli Djamaluddin Adinegoro adalah Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Ia lahir di Talawi (sekarang salah satu kecamatan di Sawahlunto) pada 14 Agustus 1904, ia adalah salah seorang pemuda Minangkabau zaman katumba yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi di Pulau Jawa.

Adinegoro adalah nama pena yang ia gunakan untuk menulis di surat kabar semasa bersekolah di salah satu sekolah paling bergengsi di Hindia Belanda, STOVIA. Ia terpaksa memakai nama pena sebab di masa itu para siswa sekolah dokter pribumi itu dilarang untuk menulis di surat kabar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di STOVIA (1918-1925), ia berangkat ke Berlin, Jerman, untuk mendalami jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik. Lumayan lama ia di Eropa, sekitar lima tahun antara 1926 dan 1930. Dan selama itu pula ia menyambi menjadi wartawan lepas untuk Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Batavia).

Sekembali ke tanah air, Djamaluddin Adinegoro melanjutkan kiprahnya sebagai wartawan. Ia sempat memimpin beberapa surat kabar, seperti Pewarta Deli di Medan, Sumatera Shimbun, dan Mimbar Indonesia. Ia juga sempat mengabdi di Kantor Berita Nasional yang sekarang bernama Antara sampai menjadi Presiden Komisaris LKBN Antara.

Selain itu, ia juga turut andil mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama penghargaan jurnalistik paling bergengsi di Indonesia, yakni Adinegoro Award.

Selain tokoh wartawan, Djamaluddin Adinegoro barangkali bisa pula dikatakan sebagai salah seorang penulis perjalanan (travel writer indonesia).  Pada 1930 Adinegoro sudah menerbitkan sebuah buku berjudul Kembali dari Perlawatan ke Europa yang berisi kisah perjalanan pulangnya dari Jerman ke Tanah Air.

Kembali dari Perlawatan ke Europa

Alih-alih pulang naik kapal lewat jalur konvensional ke Hindia Belanda, ia memilih untuk melipir dulu ke Afrika, lewat Abyssinia (Ethiopia) dan Eritrea sebelum meneruskan perjalanan ke India dan Sri Lanka. Ia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri kondisi koloni-koloni lain Eropa. (Eritrea adalah koloni Italia sementara India dikuasai oleh Inggris.) Dengan mengunjungi kedua koloni bangsa Eropa itu, ia berharap bisa mendapatkan “sesuatu” untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Lama di Eropa memang tidak serta merta membuat Adinegoro lupa Tanah Air. Bahkan selama di Eropa ia tak henti-hentinya memikirkan Indonesia. “Saja sekarang akan poelang ketanah air jang tidak saja loepakan satoe menit, selama saja didalam perantauan. Bertambah djaoeh kapal ke Selatan, makin besar hati saja,” (Adinegoro, 1930: 16-17).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai travel writer Indonesia, ia mencatat segala yang dirasakan dan dijumpainya dalam perjalanan pulang yang mengharukan itu. Dari mulai perpisahannya dengan tanah Jerman, kota-kota baru nan indah yang disinggahinya, sampai orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan.

Salah satu kisah yang menarik adalah ketika ia bertemu tiga orang Tionghoa di kapal. Dua orang awak kapal, satu orang pelajar. Menurutnya, tak peduli keluar negeri dengan alasan apa, belajar atau bekerja, para pemuda Tionghoa menjalaninya dengan bersemangat. Semua mereka lakukan demi kemajuan negaranya.

Djamaluddin Adinegoro juga bercerita tentang teman-teman atau kenalannya dari Tionghoa ketika belajar di Jerman. Tak segan-segan ia mengungkapkan kekagumannya pada para anak muda Tionghoa yang bisa bicara banyak bahasa dan mampu menyerap dengan baik pendidikan Barat, namun di sisi lain tidak melupakan akar mereka, yakni budaya Timur.

Yang juga menarik adalah pendapat Adinegoro soal melakukan perjalanan. Menurutnya, jalan-jalan ke daerah lain di Nusantara akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan mengunjungi rekan-rekan di tempat lain, semangat persatuan akan muncul dan kita akan benar-benar menjadi seperti saudara.

Adinegoro membandingkan kebiasaan jalan-jalan di Eropa dan kebiasaan jalan-jalan di Tanah Air ketika itu. Menurut pengamatannya, orang Eropa lebih senang liburan ke tempat-tempat jauh, ke kota-kota lain, ke pantai, atau ke gunung. Sementara generasi muda di Indonesia lebih senang menghabiskan perlop alias cuti dengan berdiam diri di kamar. Ia menganggap bahwa bangsa Eropa itu bisa pintar bukan karena mereka sudah pintar sedari lahir, melainkan karena mereka suka mempelajari hal-hal baru, yang salah satunya bisa didapat melalui jalan-jalan.

Perjalanan panjangnya berakhir di Medan. Meninggalkan Medan selama lima tahun, ketika kembali ke kota itu ia terkaget-kaget dengan perubahannya. Kota semakin besar dan semakin banyak intelektual yang berkumpul di sana: “Dari sana ke Djawa dan kembali lagi ke Medan, roepanja besi berani (magneet) Medan ada lebih koeat.” Namun Djamaluddin Adinegoro di masa itu barangkali tidak menyangka bahwa suatu saat ia akan menjadi seorang tokoh nasional yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan.

Artikel ini sudah tayang di TelusuRI

Baca juga: 4 Tips Cerdas Packing sebelum Traveling, Bawaan Ringan tapi Tak Ada yang Tertinggal

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Begini Rute Perjalanan 8 Pahlawan Indonesia

19 Agustus 2022

Mohammad Hatta (tengah) di Brussels tahun 1927. Wikipedia
Begini Rute Perjalanan 8 Pahlawan Indonesia

Para pahlawan Indonesia ini melawat dengan tujuan besar: sekolah untuk belajar bagaimana melepaskan diri dari penjajahan.


Majalah Tempo Terima Piala Anugerah Jurnalistik Adinegoro di Hari Pers Nasional

9 Februari 2021

Jurnalis Tempo, Devy Ernis (berjilbab di tengah), mewakili timnya sebagai pemenang Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020 kategori media cetak menerima hadiah bersama para pemenang lainnya di Candi Bentar Hall, Putri Duyung Resort, Ancol, Jakarta Utara pada Selasa, 9 Februari 2021. (Dok. PWI)
Majalah Tempo Terima Piala Anugerah Jurnalistik Adinegoro di Hari Pers Nasional

Majalah Tempo menerima piala Anugerah Jurnalistik Adinegoro di Hari Pers Nasional lewat tulisan Jalan Pedang Dai Kampung.


Anugerah Adinegoro untuk Majalah Tempo, Juri: Promosikan Toleransi Beragama

6 Februari 2021

Santri mengikuti materi untuk bimbingan skripsi di kampus Ma'had Aly Pesantren Kebon Jambu, Kecamatan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, 17 Juli 2020. Kegiatan belajar mengajar mulai bergeliat di awal tahu ajaran baru di lingkungan pondok pesantren dengan jumlah santri 1.700 orang ini. TEMPO/Prima mulia
Anugerah Adinegoro untuk Majalah Tempo, Juri: Promosikan Toleransi Beragama

Laporan Khusus Majalah Tempo mengangkat tema "Jalan Pedang Dai Kampung", memenangkan Anugerah Adinegoro, untuk kategori media cetak.


Di Balik Liputan Majalah Tempo 'Jalan Pedang Dai Kampung' yang Juara Adinegoro

22 Januari 2021

Santri mengikuti materi untuk bimbingan skripsi di kampus Ma'had Aly Pesantren Kebon Jambu, Kecamatan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, 17 Juli 2020. Kegiatan belajar mengajar mulai bergeliat di awal tahu ajaran baru di lingkungan pondok pesantren dengan jumlah santri 1.700 orang ini. TEMPO/Prima mulia
Di Balik Liputan Majalah Tempo 'Jalan Pedang Dai Kampung' yang Juara Adinegoro

Majalah Tempo menyabet penghargaan Adinegoro 2020 lewat tulisan Jalan Pedang Dai Kampung. Simak cerita di balik liputan ini.


Majalah Tempo Sabet Adinegoro 2020 Lewat Liputan Jalan Pedang Dai Kampung

22 Januari 2021

Cover Podcast Apa Kata Tempo 38 Dai Kampung
Majalah Tempo Sabet Adinegoro 2020 Lewat Liputan Jalan Pedang Dai Kampung

Majalah Tempo memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020 kategori media cetak.


Majalah Tempo Raih Adinegoro untuk Kategori Investigasi Cetak

8 Februari 2020

(Kiri-kanan) Anggota AJI Jakarta Marina Nasution, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dyatmika, Sekretaris Jenderal AJI Jakarta Afwan Purwanto Muin, Lembaga Bantuan Hukum Pers Ahmad Fathanah Haris menghadiri diskusi publik terkait upah layak dan bahaya Omnibus Law bagi Jurnalis di Sekretariat AJI, Kalibata, Jakarta, Ahad 26 Januari 2020. TEMPO/Ahmad Tri Hawaari
Majalah Tempo Raih Adinegoro untuk Kategori Investigasi Cetak

Majalah Tempo akan menerima hadiah sebesar Rp 50 juta untuk anugerah Adinegoro yang diterimanya.


Majalah Tempo Menang Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2019

4 Februari 2020

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dyatmika (kiri) Sekretaris Jenderal AJI Jakarta Afwan Purwanto Muin (kanan) berdiskusi saat akan menjawab pertanyaan dari awak media terkait upah layak dan bahaya Omnibus Law bagi Jurnalis dalam diskusi publik di Sekretariat AJI, Kalibata, Jakarta, Ahad, 26 Januari 2020. TEMPO/Ahmad Tri Hawaari
Majalah Tempo Menang Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2019

Karya yang terpilih bertajuk Hanya Api Semata Api yang diterbitkan Majalah Tempo pada 23 September 2019.


Saat Jokowi Mengenang Tokoh Pers Djamaluddin Adinegoro

9 Februari 2018

Presiden Joko Widodo menjawab pertanyaan awak media saat mengunjungi tempat kelahiran tokoh pers Djamaluddin Adinegoro di kawasan Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatra Barat., 8 Februari 2018. Foto/Intan/Biro Pers Setpres
Saat Jokowi Mengenang Tokoh Pers Djamaluddin Adinegoro

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyempatkan mengunjungi rumah tempat kelahiran Djamaluddin Adinegoro, tokoh pers dan kesusastraan Indonesia.