TEMPO.CO, Jakarta - Memandang lanskap Danau Sentani dan Pegunungan Cyclops dari kaca pesawat, kerap membuat suasana hati emosional. Mereka yang baru pertama berkunjung ke Jayapura mengagumi keindahannya. Sementara bagi mereka yang menempuh perjalanan panjang, merasa tujuan sudah dekat.
Saat matahari bersembunyi di balik Pegunungan Cyclops, dengan warna jingganya, Pulau Asei seperti mengambang di atas air danau yang menguning. Ribuan tahun lalu, saat pengembara penutur bahasa Austronesia datang, mereka membangun permukiman di pantai Danau Sentani.
Peninggalan mereka dalam bentuk seni megalitikum Tutari, bisa dijumpai hingga saat ini. Menhir atau tugu batu raksasa berhias motif hewan-hewan Danau Sentani, masih tergurat jelas. Kini lukisan-lukisan dari masa prasejarah itu dilestarikan warga, yang dipelopori Corry Ohee.
"Motif lukisan Megalitik Tutari menginspirasi saya dalam berkreasi membuat lukisan kulit kayu," ujar Corry. Ia menuturkan, motif prasejarah kelihatan sederhana, namun merupakan motif tertua di nusantara, peninggalan manusia prasejarah Danau Sentani.
Corry membuat lukisan prasejarah itu di atas kulit kayu asei, dengan motif daun palem, awan, cicak, kadal, ikan, buaya, kelelawar, dan tikus air, "Tentu ada pembeda lukisan parsejarah dengan karya saya. Motif Megalitik Tutari itu sederhana, tidak detail. Kalau lukisan Asei lebih detail, halus, dan dikreasikan dengan perkembangan seni saat ini dan selera wisatawan," imbuhnya.
Terkait selera, Corry menyebut, wisatawan nusantara yang mengunjungi Danau Sentani lebih suka motif lukisan tifa, burung cenderawasih, rumah adat honai, atau yang bernuansa Papua. Sementara wisatawan mancanegara, menyukai motif asli Sentani dengan warna-warna dari alam.
Seniman Corry Ohee sedang mengamati motif yang terdapat pada situs Megalitik Tutari di pantai Danau Sentani. Dok. Hari Suroto
"Wisatawan nusantara lebih suka warna yang cerah, terang, kekinian. Sementara saya melukis kulit kayu dengan motif Megalitik Tutari, untuk para kolektor seni dan wisatawan mancanegara. Saya yakin motif yang lebih tua bernilai tinggi," ujarnya.
Meskipun Corry menyebut motif Megalitik Tutari itu sederhana, namun di tangannya lukisan itu butuh detail dan pengerjaan yang lama. Tetapi hasilnya lebih artistik, ketimbang yang tergambar pada bebatuan purba itu.
Agar motif-motif Megalitik Tutari tak punah, peneliti Balai Besar Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan, karya seni itu telah dimasukkan ke dalam bahan ajar muatan lokal di sekolah-sekolah menengah. Harapannya, bukan pada masa mendatang tak hanya Corry dan warga Pulau Asei yang berjuang melestarikannya, tapi juga generasi muda Papua.
"Lukisan kulit kayu itu juga bisa diaplikasikan pada sablon kaos, desain logo, atau sumber inspirasi bagi pelukis kanvas," ujar Hari Suroto. Ia memuji langkah Corry yang melestarikan motif seni Megalitik Tutari dengan media kulit kayu.
Sejak zaman dahulu, kulit kayu sudah dihias. Dengan demikian langkah Corry juga melestarikan tradisi yang punah, "Sementara para seniman lain, tidak menjadikan motif Megalitik Tutari sebagai seni, tapi menjadikannya sebagai kerajinan," ujar Hari Suroto.
Menurutnya, Corry menjaga seni Megalitik Tutari, bukan hanya dari sisi motif tapi sampai pada taraf pengerjaan karya. Lukisan kulit kayu itu menggunakan warna hitam, putih dan merah, yang dibuat dari arang, kapur dan tanah liat. Dengan kuas yang terbuat dari serabut kelapa.
Masyarakat Sentani yang bermukim di Pulau Asei terkenal sebagai pelukis dengan media kulit kayu, "Pengetahuan melukis ini diwariskan oleh nenek moyang mereka dan sudah ada sejak zaman prasejarah," imbuh Hari Suroto.
Corry Ohee memperlihatkan lukisan di atas media kulit kayu asei. Pewarnaannya masih menggunakan warna alam dengan kuas dari sabut kelapa. Dok. Hari Suroto
Kulit kayu yang dijadikan sebagai media berupa kulit pohon kombouw (ficus variagata). Kulit kayu itu memiliki tekstur yang bagus dan relatif rata. Lukisan kulit kayu ini disebut malo atau maro. Sementara turis asing menyebutnya sebagai bark painting. Pada masa kolonial Belanda, beberapa malo dikirim ke Eropa.