TEMPO.CO, Denpasar - Karangasem World Music Festival 2019 yang berlangsung pada 11-13 Oktober 2019 di Puri Gede, Karangasem Bali, diharapkan membantu memulihkan kinerja pariwisata Bali pasca-meningkatnya status aktivitas Gunung Agung.
Hal tersebut dikemukakan Tenaga Ahli Menteri Pariwisata Bidang Pemasaran dan Kerja Sama Pariwisata Kementerian Pariwisata Prof. Dr. I Gde Pitana, Sabtu (12/10/2019). Menurut Pitana, pertunjukan musik itu merupakan salah satu rangkaian Program Bali Recovery 2019.
“Sejak peningkatan aktivitas Gunung Agung pada September 2017, pariwisata Bali menghadapi tantangan yang begitu besar. Banyak negara dan wisatawan maupun calon pengunjung khawatir terhadap kondisi Bali saat itu,” katanya.
Ia mengatakan, dengan musik yang menjadi bahasa universal, diharapkan bisa jadi pemicu untuk memulihkan ekosistem pariwisata di Karangasem.
“Berbagai upaya pun telah dilakukan Kemenpar untuk memulihkan kepercayaan internasional, sehingga citra pariwisata Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia dapat kembali normal,” katanya.
Prof Pit, sapaan akrab I Gede Pitana menambahkan, Program Bali Recovery yang digagas Kemenpar terus dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan dan strategi. Di antaranya melalu jalur diplomasi, promosi pariwisata, hingga penyiapan mitigasi.
Kuil Lempuyang di Karangasem, Bali, menjadi daya tarik pariwisata Karangasem. Karangasem terus berinovasi mendatangkan wisatawan usai erupsi Gunung Agung. Foto:Suma Bali Tour
Salah satu program Kemenpar adalah dengan menggelar berbagai event berskala internasional dalam rangkaian Program Bali Recovery, “Berbagai event telah dilaksanakan di delapan kabupaten dan 1 kota se-Provinsi Bali di antaranya di Kabupaten Karangasem,” katanya.
Adapun event yang digelar oleh Kemenpar bekerja sama dengan Bali Tourism Board dan Dinas Pariwisata Karangasem, meliputi Festival Pesona Tulamben, Discover Karangasem, Brotherhood Champ, Miss Universe Reunion, Festival Pesona Edelweiss, dan Karangasem Music World Festival.
Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri mengatakan, Karangasem World Music Festival merupakan bagian yang terintegrasi dari program aktivasi branding Karangasem. Program itu yakni The Spirit of Bali, yang berfokus pada pengelolaan dan pengembangan sumber daya sehingga menjadi manfaat bagi masyarakat Karangasem dan pengalaman berharga bagi wisatawan.
“Karangasem World Music Festival 2019 menjadi satu rangkaian utuh dengan program acara lain yang memunculkan dimensi baru pariwisata di Karangasem,” ujarnya.
Program ini telah dijalankan sejak 2016 sampai 2018 dan tercatat berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan mencapai hampir 200 persen. Karenanya, Karangasem akan terus mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dalam mengembangkan destinasi dengan mengajak para pemangku kepentingan yang lain.
Sementara itu, Panitia Karangasem World Music Festival 2019 Ida Bagus Agung Gunarthawa menyatakan, Karangasem World Music Festival dikemas untuk menjembatani persaudaraan dan keragaman lewat musik, dengan asosiasi memadukan irama Segara-Gunung.
Dengan mengedepankan semangat tersebut, diharapkan terbangun solidaritas dan apresiasi yang akan membawa pada kehidupan yang lebih baik, “Dalam upaya menjaga harmoni ruang musikal tubuh dengan alam semesta raya, dalam peradaban Bali mengenal momentum khusus yang dikenal dengan Hari Raya Tumpek Krulut.
Dua pria mengikuti tradisi Mekare-kare atau Perang Pandan di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali, Senin, 24 Juni 2019. Foto: Johannes P Christo
Momentum istimewa ini diperingati setiap 210 hari sekali. Menurut kalender solar-lunar system, fenomena itu terjadi manakala penanggalan Bali menunjuk hari Saniscara atau Sabtu Kliwon dalam Wuku Krulut atau pekan ke-17. Wujud prosesinya berupa pemuliaan terhadap instrumen musik Bali tradisional yang dinamakan gamelan,” ungkapnya.
Ia mengatakan, gamelan sebagai orkestra Bali tidaklah semata-mata menghamparkan rasa religius-spiritual. Dalam konteks sosio-politik, gamelan juga menjadi sedemikian jelas dan jernih mengetengahkan demokrasi.
“Semua instrumen diberi hak mengeluarkan nada dan suaranya masing-masing. Namun, semua akhirnya dibingkai dalam satu payung bernama irama, sehingga terciptalah komposisi yang indah dan harmonis,” katanya.