TEMPO.CO, Jakarta - Jam makan siang di perkantoran Singapura adalah waktu untuk tergesa-gesa sekaligus menghibur diri. Kenikmatan makan siang adalah jeda yang istimewa. Para eksekutif di jantung Kawasan Pusat Bisnis Singapura, berarak menuju Amoy Street Hawker Centre – pusat jajanan kaki lima populer di Singapura.
Di sana, mereka menunggu dalam antrian mengular di deretan kios-kios. Masing-masing kios menjajakan satu hidangan khusus. Menukil Atlas Obscura, kios-kios kaki lima itu menjajakan char siew (babi panggang Kanton) hingga rujak. Aroma sedap rempah-rempah menggelitik hidung, yang berasal dari rempah-rempah, bawang putih goreng, dan daging berkaramel bercampur dengan aroma kopi tarik.
Suasana gaduh pusat kuliner kaki lima itu membentuk orkestra dengan melodi perbincangan, suara mie diaduk, dan pisau yang merajang daging dengan tergesa-gesa.
Singapura sering digambarkan sebagai surga makanan, dan pusat jajanannya, yang jumlahnya lebih dari 100. Negara kota ini memang demokratis dalam urusan kuliner. Hidangan kaki limanya populasi: Tionghoa, Melayu, dan India. Kota yang serba mahal itu, menawarkan sepiring nasi tim ayam seharga sekitar $ 3 – harga yang paling terjangkau, mudah diakses, dan lezat.
Namun Singapura menghadapi masalah besar dalam kulinernya. Meskipun produsen dan konsumennya adalah penduduk asli Singapura, kuliner negeri itu menghadapi kepunahan. Padahal kuliner adalah bagian penting dari budaya dan identitas lokal. Pembuat kuliner tradisional banyak yang memasuki usia senja, dan pensiun tanpa menyerahkan pengetahuan dan keterampilan mereka kepada seorang penerus.
Hawking atau pedagang kuliner kaki lima pertama kali menjadi pilihan profesi yang populer pada 1950-an dan 1960-an. Selama tahun-tahun pasca-perang Singapura, karena bisnid dagang kaki lima itu menyediakan lapangan kerja informal bagi penduduk – saat pekerjaan langka dan kota itu masih miskin. Pada akhir 1960-an, sekitar 24.000 pedagang asongan, yang menjual makanan jalanan yang enak dan terjangkau, memberi makan populasi 1,7 juta.
Tetapi meluasnya kaki lima yang tidak diatur menyebabkan masalah kebersihan dan kemacetan. Penjaja menjelajah ruang dan jalan terbuka, menjual barang-barang buatan sendiri. Kombinasi beragam persembahan — tempe Jawa, kongsi Kanton, bubur Teochew — yang dapat diperoleh secara instan menjadikannya populer. Momentum merapikan pedagang kuliner kaki lima pada era itu, terjadi saat Pasar Ellenborough (Pasar Teochew) terbakar hebat pada 1968, plus kasus keracunan makanan yang kerap terjadi.
Warga mengantri di pusat jajanan Amoy Street Hawker Centre, Singapura. Foto: @saslwp