Jumat Suci. Pukul 7 malam. Mulanya di Katedral Larantuka semua orang berkumpul. Maria, yang akan diarak, disandingkan dengan sebuah peti mati. Peti mati ini bagian yang tak terpisahkan darinya. Peti ini pun hanya dikeluarkan sekali setahun. Bedanya adalah tempat penyimpanan. Patung Maria disimpan di lemari jati di belakang altar Kapel Tuan Ma, sedangkan peti mati ini disimpan di Kapel Tuan Ana, yang letaknya di ruas jalan yang sama berjarak satu kilometer.
Warga Larantuka menyebut patung Maria sebagai Tuan Ma dan peti mati itu Tuan Ana. Seperti Maria, peti mati itu misterius. Peti "purbawi" tersebut tak pernah dibuka ratusan tahun. Entah ada apa di dalamnya, tak pernah ada yang tahu. Dari mana peti mati kuno itu berasal, tabu membicarakannya. Ada kepercayaan, siapa berani membuka, ia bakal mati seketika.
Dan pukul 7 malam itu, bila kita datang ke Katedral, jemaat telah mengular di halaman. Mereka membawa lilin. Pakaian mereka hitam-hitam. Baju hitam, selendang hitam. Ibu-ibu berkebaya hitam dengan motif salib hitam. Anda mulai bisa merasakan bagaimana Larantuka terbenam dalam kesyahduan. Suasana mencekam. Darasan doa sahut-menyahut, menyeret Larantuka ke dalam duka.
Pada malam Jumat Suci, bila kita beruntung melihat wajah patung Maria, parasnya yang sendu makin bertambah sendu. Ia seolah-olah hidup dan memberi getaran sampai jauh ke barisan belakang. Kota hening. Tak ada suara apa pun—deru sepeda motor, suara celoteh manusia—semua binasa, kecuali gumaman doa. Terasa kuat prosesi ini bukan sesuatu yang dibawa dari luar. Ia tumbuh dari dalam, dari akar kultural Larantuka. Ia muncul dari oyot-oyot keringat serta darah petani dan nelayan Larantuka. Kita melihat pintu rumah-rumah di kanan-kiri jalan yang dilalui prosesi selalu terbuka. Di teras diletakkan meja kecil penuh bunga.
Mengawali iringan, seorang berjalan di depan menabuh genderang perkabungan yang disebut genda do dengan ritme tertentu. Bunyi ketukannya menimbulkan perasaan gamang dan miris. Ketukan ini seolah-olah satu-satunya suara yang hidup pada malam itu. Di belakang penabuh, rombongan anak-anak membawa salib hitam, serai, dan dua lilin besar, serta rombongan pembawa lukisan rangka manusia.
Sungguh ini suatu teater kematian. Disusul anak-anak yang membawa alat-alat penyengsara Yesus: krenti (rantai), krona spina (mahkota duri), tiga batang palu besar, dan alat penusuk. Selain itu, tongkat dan bunga karang yang dipakai untuk mencelup cuka yang diminumkan kepada Kristus agar ia bisa mati dalam keadaan tak sadar, juga lembing yang merobek lambung Yesus. Lalu ada tempayan, lambang sikap kemunafikan Pontius Pilatus, wakil pemerintah Roma di Yerusalem yang menyerahkan Yesus kepada orang-orang Yahudi. Juga ada tripleks berbentuk ayam: perlambang Petrus, murid yang sempat menyangkal setelah Yesus ditangkap.
Perhatikanlah bagaimana peti mati dipikul. Peti mati Tuan Ana beserta tatakannya dipikul empat orang. Mereka mengenakan kostum putih gaya Portugis abad pertengahan dan topi kerucut merah. Wajah mereka tertutup. Hanya ada celah yang memperlihatkan mata. Mereka adalah orang-orang yang bernazar khusus, sering kali orang dari luar Larantuka, seperti Jakarta dan kota lain di Indonesia, bahkan dari luar negeri.
Seorang Mardomu menjunjung sebuah peti berisi patung Yesus yang Disalibkan pada prosesi Laskar Laut di Larantuka, Flores Timur, NTT, 14 April 2017. Patung Yesus yang Tersalib dimasukkan dalam sebuah peti, kemudian diarak menuju pantai Kuce depan Istana Raja Larantuka. ANTARA/Kornelis Kaha