Ia tak tahu pasti kapan Kerajaan Boti berdiri. Sebab, tak ada catatan maupun cerita lisan dari para pendahulu. Menurut Namah, ba’i (para pendahulu mereka) mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan tradisi untuk menyatu dengan alam. Prosesi tersebut di antaranya berupa upacara yang dilaksanakan tiga kali tiap tahun, yakni membersihkan kebun, setelah menanam, serta seusai memanen.
Ritual upacaranya adalah mulai dari menyiapkan binatang berupa kerbau, sapi, kambing, babi, atau binatang apa saja, serta hasil bumi, yakni ubi, pisang, jagung. “Satu tahun itu kami minta makanan dari alam. Kami dapat banyak, jadi kami pergi, kasih tahu, ini kami dapat hasilnya sekian,” ujar Namah.
Hasil bumi itu lantas dibawa ke tempat upacara yang disebut Fainmate. Tempat tersebut berada di sekitar hutan larangan. Luas hutan larangan sekitar 1.000 ratusan hektare. Letaknya bisa ditempuh satu hari jalan kaki dari Kampung Adat Boti. Di hutan ini juga diterapkan aturan, yakni siapapun tidak boleh mengambil apapun. Jika ada yang melanggar, misalnya mengambil sebatang kayu yang sudah roboh, orang tersebut harus menyiapkan persembahan berupa memotong hewan di hutan larangan.
Ladang tempat mereka bercocok tanam berada di sekitar hutan larangan. Jika akan membuka lahan baru, warga juga harus melakukan upacara. Menurut Namah, hasil bercocok tanam itu biasanya untuk dimakan sendiri oleh warga. Jadi tidak ada yang dijual!Kain tenun Suku Boti di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 5 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian
Jika warga butuh uang, biasanya mereka menjual kemiri, asam, atau binatang. Pohon kemiri dan asam memang tumbuh banyak di sekitaran Kampung Adat Boti. “Kami cari uang itu untuk beli sesuatu yang tidak kami buat di sini. Yang bisa kami buat di sini, ya tidak perlu membeli,” kata Namah.
Selain Fainmate, tempat ritual lainnya ada di dalam kampung. Bentuknya bundar seperti rumah khas sana. Namun hanya Usif yang boleh masuk ke dalamnya. Namah mengatakan di dalam rumah ibadah tersebut tersimpan pusaka peninggalan leluhur.
Dengan ritual yang begitu kental, masyarakat Boti juga memiliki aturan. Mereka tidak menggunakan listrik atau teknologi lainnya. Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan mempunyai telepon seluler dan motor. Genset listrik hanya tersedia di rumah tamu. Tak ada satu pun televisi di kampung itu. “Kalau ada televisi, nanti tradisi kami bisa luntur,” ujar Namah.
Kampung Adat Boti terletak sekitar 30 kilometer dari Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Suku adat yang mendiami pegunungan di Kecamatan Kie ini merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Metu.
Kampung ini terbagi menjadi dua, yakni Boti Dalam dan Boti Luar. Jumlah penduduk Boti Dalam sekitar 77 Kepala Keluarga atau 319 jiwa, sedangkan Boti Luar sekitar 2.500 jiwa. Hanya Kampung Adat Boti Dalam yang mewarisi dan mempraktikkan tradisi lokal dan agama asli yang disebut Uis Neno Ma Uis Pah, dewa langit dan bumi. Warga Boti Dalam tinggal di areal seluas 3.000 meter persegi yang dikelilingi pagar kayu. Sedangkan Boti Luar sudah beragama. Mereka menganut Kristen Protestan dan Katolik.