TEMPO.CO, Boti-NTT - Satu truk yang mengangkut seekor sapi besar tiba di pelataran kediaman Raja Boti, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pertengahan Oktober lalu. Sekitar enam warga Kampung Adat Boti bergotong-royong menurunkan sapi tersebut kemudian membawanya ke halaman belakang rumah raja. Di samping Ume Kbubu atau rumah bulat itu, puluhan laki-laki maupun perempuan meriung di bawah atap temporer yang terbuat dari pelepah dan daun lontar. Mereka sibuk menganyam daun lontar untuk dijadikan baki.
Puluhan orang lainnya sedang masak besar di dapur yang beratap pelepah dan daun lontar juga. “Kami sedang persiapan untuk memperingati dua tahun kematian ibu raja,” kata Oni Sae, salah satu warga Kampung Adat Boti. Saat Tempo bertandang dengan membawa pinang-sirih sebagai tanda bertamu, Oni langsung mempersilakan kami ke Lopo (pendopo). Lopo yang juga rumah bulat terbuka itu berada di depan Ume Kbubu.
Menurut Oni, keluarga Raja Boti, Namah Belu, memotong seekor kambing setiap hari untuk memberi makan kepada warga yang bergotong-royong menyiapkan segala keperluan peringatan kematian ibu raja tersebut. Kambing goreng itu pula yang disajikan untuk tim Tempo. “Setiap tamu yang datang harus menyicipi hidangan kami.”
Oni mengatakan persiapan itu sudah dilakukan selama dua pekan. Peringatan kematian kemungkinan bakal dilaksanakan satu atau dua bulan kemudian. Keponakan raja, Pah Sae, mengatakan acara besar itu butuh persiapan yang lama karena mereka mengumpulkan segala keperluannya perlahan-perlahan. Dalam acara peringatan nanti dibutuhkan ratusan ternak dan ayam.Warga Suku Boti menyiapkan peringatan meninggalnya ibu Raja di Desa Boti di kecamatan Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 4 Oktober 2018. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. TEMPO/ Nita Dian
Berkaca pada peringatan kematiah ayah Raja Boti Namah Belu, Usif Nune Belu, delapan tahun yang lalu, saat itu mereka mesti menyediakan 2 ekor sapi, 100 kambing, 200 babi, dan ratusan ayam.
Pada peringatan kematian ibu raja ini tak jauh beda. Sapi yang diangkut menggunakan truk itu akan digunakan untuk keperluan adat ini. “Kalau ayah raja perlu dua ekor sapi, ibu raja satu ekor. Babi, kambing, dan ayam jumlahnya sama,” kata pemuda 25 tahun itu.
Hewan-hewan itu akan digunakan sebagai persamuan untuk para tamu undangan. Baki-baki dari lontar tadi yang menjadi wadahnya. Hampir semua hewan yang disiapkan merupakan peliharaan raja. Menurut Pah, nanti akan hadir ribuan tamu undangan termasuk pejabat di Nusa Tenggara Timur di kampungnya. “Persiapan harus matang betul untuk menyambut para tamu,” ucap Pah.
Raja Boti, Usif Namah Benu, mengatakan peringatan ini sebagai warisan tradisi sehingga harus dilaksanakan. Ia tak memusingkan urusan biaya karena hampir semua kebutuhan tersedia dari alam.
Karena itulah, menurut Namah Benu, falsafah hidup warga Boti bahwa kesejahteraan dan kemaslahatan hidup hanya bisa didapat dengan menjaga dan merawat alam. Suku Boti sangat menghargai dan menghormati alam. Mereka menyadari bahwa kehidupannya sangat bergantung pada alam. “Kita manusia ini menjaga alam, maka alam akan menjaga kembali kita. Ini dipertahankan dari keturunan sampai sekarang masih berjalan,” ujar Namah.