Warga Boti Dalam masih menganut kepercayaan bercorak animisme. Keyakinan dan kepercayaan Suku Boti disebut Halaika. Suku Boti percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah merupakan mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Uis Pah disebut juga sebagai Dewa Bumi.
Sedangkan Uis Neno adalah papa atau bapak, sebagai penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia. Uis Neno menjadi Dewa Langit. Bagi Suku Boti, hidup ini diatur oleh tiga kekuatan besar, yakni Uis Pah, Uis Neno, juga roh arwah leluhur (Nitu). Roh-roh leluhur ini dipercaya mendiami pohon-pohon besar yang berada di hutan terlarang mereka.
Meski warga Boti memeluk kepercayaan dinamisme, mereka tidak melarang masuknya ajaran gereja. Hanya saja, bagi warga yang ingin memeluk agama lain harus keluar dari Kampung Adat. Hal ini berlaku bagi siapapun, termasuk putra sulung Raja Boti (almarhum) Usif Nune Benu, Laka Benu.
Laka harus meninggalkan Kampung Boti karena dia mengimani katolik. Padahal Laka adalah putra mahkota Boti yang seharusnya menggantikan Usif Nenu yang meninggal sekitar 2005 lalu. Tradisi Boti mensyaratkan raja harus dipegang oleh orang yang mewarisi agama leluhur. Karena itulah, tahta Raja Boti kini dipegang Usif Namah Benu, putra kedua atau anak ketiga Usif Nune Benu.
Usif (Raja) bertugas sebagai pemimpin pemerintahan, adat, sekaligus pemimpin spiritual masyarakat Boti. Anak pertama Usif Nune Benu perempuan, Molo Benu, yang merupakan ibunya Pah. Di sana, perempuan tak bisa menjadi raja.
Pergantian raja itu juga tak serta-merta dilaksanakan. Ada jeda sekitar tiga tahun sebagai masa berkabung. Selama itu juga, warga Kampung Adat Boti dilarang mengadakan pesta. Saat Namah Benu dikukuhkan menjadi Usif (raja), mereka baru bisa menjalankan pesta ritual adat kembali.
Meski penerapan ajaran leluhur sangat kental, Kerajaan Boti tetap terbuka terhadap pendidikan. Namah Benu mengatakan warganya tetap bisa menyekolahkan anak-anaknya. Dia mencoba menyatukan pengetahuan dari pendidikan formal dan tetap memelihara ajaran-ajaran tradisi. Dia juga menerapkan aturan soal pendidikan ini. Dari satu keluarga yang mempunyai empat anak misalnya, dua anak harus sekolah formal dan sisanya belajar mengenai tradisi dan adat. Dengan demikian, warga Boti tetap bisa melestarikan adat dan tradisi leluhur tanpa teralienasi dari peradaban.
Warga Kampung Adat Boti juga masih menjalankan aturan spesifik mengenai cara berdandan dan berpakaian. Salah satunya, para pria yang sudah menikah dilarang memotong rambutnya. Mereka harus menggelung hingga berbentuk seperti konde. Pria dan wanita yang sudah remaja hingga tua juga harus mengenakan kain tenun yang mereka buat sendiri. Warga tidak boleh mengenakan celana, rok, atau daster.
Untuk membuat kain tenun, mereka memintal benang dari tanaman kapas yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sedangkan untuk perwarnaan, mereka menggunakan dedaunan dari alam yang diproses secara tradisional. Namun belakangan ini, warga Boti juga menggunakan bahan pewarnaan dari pabrik meski dibatasi.
Meski banyak aturan dan tradisi yang dijalankan, Oni Sae, dan warga lainnya tetap betah tinggal di kampung sana. “Ini jalan kehidupan yang baik bagi kami. Sebagai manusia, kita harus merasa cukup dengan yang ada dan menjaga alam supaya alam baik sama kita,” ujar perempuan 20 tahun itu.
Oni belum menikah. Jika suatu nanti ia jatuh hati dengan pemuda dari kampung lain, maka pemuda itu harus pindah ke Boti untuk mempersuntingnya. Hal ini berlaku bagi seluruh warga Boti Dalam.
LINDA TRIANITA (Boti)