TEMPO.CO, Padang - Lima kapal bermodel pesiar digotong secara bersama oleh pemuda menuju Sungai Mahat yang berada di Nagari Gunung Malintang, Kecamatan Koto Baru Pangkalan, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Kapal-kapal tersebut terbuat dari kayu yang dibuat secara bersama-sama oleh masyarakat untuk persiapan Alek Bakajang yang digelar 13-17 April 2024.
Alek Bakajang merupakan festival yang menghadirkan miniatur kapal pesiar dari jorong-jorong (kampung) dan perwakilan dari pemerintahan dan alim ulama nagari. Festival yang juga dikenal sebagai manjalang ini diadakan untuk memperingati upaya para niniak mamak pendiri Gunung Malintang di masa lampau dalam membuka keterisolasian daerah mereka. Alek Bakajang pernah meraih Juara 1 kategori atraksi budaya terpopuler dalam Anugerah Pesona Indonesia (API) 2021.
Lima kapal yang diturunkan merupakan perwakilan masing-masing jorong di Nagari Gunung Malintang. Kapal tersebut digunakan untuk mengangkut para niniak mamak dan tamu undangan Alek Bakajang. Dibuat dari gabungan dua sampan yang dicat putih dan biru, kapal itu juga dilengkapi dengan alat musik untuk memeriahkan acara.
Kapal-kapal itu akan dibawa secara bersama-sama oleh para pemuda kampung untuk mengelilingi aliran Sungai Mahat Gunung Malintang. Alek Bakajang ini diyakini masyarakat sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu, biasanya dilaksanakan 3 hari setelah Idulfitri. Prosesnya dimulai dengan bersilaturahmi ke istana masing-masing suku selama lima hari.
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Gunung Malintang Jamri Datuak Pamoko menjelaskan, kegiatan bakajang ini sudah lama dilakukan untuk mempererat silaturahmi atau persaudaraan antarsuku yang berada di Gunung Malintang.
"Sudah lama kami laksanakan, sudah 50 sampai 100 tahun yang lalu," katanya.
Dia melanjutkan, Alek Bakajang ini melibatkan seluruh masyarakat di Nagari Gunung Malintang.
"Semua jorong harus membuat kajang atau kapalnya yang dibuat secara bergotoroyong," ujar dia.
Jamri menjelaskan, bentuk kapal atau kajang itu dulunya tidak seperti kapal pesiar yang dilihat saat ini. Dulu hanya sampan yang dihias dengan kain berwarna-warni. Namun seiring perkembangan zaman, kajang tersebut diubah modelnya menjadi kapal pesiar.
"Perubahan ini diusulkan oleh masyarakat Gunung Malintang yang pernah bekerja di kapal pesiar," ucapnya kepada Tempo.co.
Menurut Jamri, masyarakat Gunung Malintang dulunya memang mengunakan transpotasi sungai untuk membawa hasil pertanian ke pasar.
"Sampan adalah salah satu alat transportasi kami dahulu untuk ke pasar, sebelum ada moda transportasi darat," katanya.
Dia berharap, selain memperkenalkan budaya dan tradisi Gunung Malintang ke masyarakat luar, Alek Bakajang ini juga membuat persaudaraan antarkampung di Nagari Gunung Malintang semakin kuat.
Pilihan Editor: 3 Rekomendasi Wisata di Kota Padang, Pilih ke Pantai atau Gunung?