Suara khas Endah Laras sayup-sayup terdengar memanggil-manggil dengan lagu Pring Gapuk-nya. Musisi keroncong yang khas dengan kebaya, berkain jarik, bersanggul dan menyandang okulele acap disebut-sebut generasi lanjutnya maestro keroncong Waldjinah. Malam itu, Endah tampil lincah dengan kebaya kuningnya.
Dari sini, petualangan blusukan dimulai. Lantaran gelap malam arah lokasi panggung tak bisa dikenali dengan mudah. Apalagi ruas-ruas jalan dipenuhi hilir mudik pengunjung membuat tak leluasa memanjakan mata ke sisi kiri kanan. Untungnya, ada lampu-lampu pijar temaram yang dipajang untuk penunjuk jalan. Lampu-lampu itu dibungkus keranjang dari anyaman bambu yang digantung seperti sangkar burung di sepanjang tepian jalan kampung.
Lantaran remang-remang, pengunjung dibuat kaget dengan penampilan tiga seniman yang melakukan performance art menjadi patung di ujung gang. Mereka memerankan sosok petani, pengamen, juga pengemis. Seluruh badan dicat dengan warna tembaga, ada juga dengan warna hijau. Sekaligus menjadi obyek untuk foto bareng.
Uniknya pula, setiap panggung maupun arena kuliner menempati area kosong atau pun pekarangan rumah warga. Ada panggung kecil, seperti Panggung Carik. Ada panggung besar, seperti Jagatirta tempat pembukaan sekaligus penutupan acara.
Setiap panggung dilengkapi dengan alat musik dan permainan lampu warna warni. Penonton berdiri uyel-uyelan di seputaran panggung dengan kamera handphone siap menjepret aksi pementasan di panggung.
“Percaya enggak, jazz itu musik dari pantura (kawasan pantai utara Jawa) lho,” kata vokalis kelompok jazz Anteng Kitiran yang suka berkelakar. Penonton dan awak musiknya protes. Mereka bilang tidak percaya.
“Coba kalau orang pantura bilang, buka sithik. Jawabnya jazz kan?” kata si vokalis yang memelesetkan istilah “joss” seperti yang sering digunakan untuk dangdut koplo. Pengunjung menyerbunya dengan tawa.
Pengunjung yang ingin jeda sejenak menikmati sajian kuliner bisa bertandang ke beberapa pekarangan warga. Ada yang menjual menu khas ndeso, seperti sego wiwit, mi lethek, juga sego gilang. Ada pula jajanan lain, seperti cilok, kacang rebus, pisang rebus.
Dan Tempo menemukan jajanan baru yang nyempil di pekarangan penduduk dekat Panggung Carik. Namanya sempol ayam, sempol ikan, dan sempol telur. Jajanan ini disajikan dengan tusukan bilah bambu. Untuk telur gulung adalah campuran telur ayam dan maezena. Diaduk, dituang dalam cetakan bulat-bulat kecil, sembari dipanasi. Setelah matang dicungkil dan ditusuk. Tiap lima tusuk harganya Rp 5 ribu.
“Maezena itu temannya Maesaroh, tetangganya Maemunah,” kata penjualnya bertopi merah dibalik yang selalu menjawab dengan kelakar setiap pertanyaan pengunjung padanya.
Malam kian larut ketika ajang Ngayogjazz paripurna. Berduyun-duyun pengunjung luar desa itu beranjak. Membawa serta sensasi di telinga dengan musik jazz, di lidah denga kulinernya, di mata dengan keseniannya, dan dalam kalbunya untuk kebudayaan warga yang guyub.
PITO AGUSTIN RUDIANA (Yogyakarta)