TEMPO.CO, Banyuwangi - Ribuan orang memadati jalan utama di desa adat Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu, 10/11, dalam malam dalam acara "Festival Kopi Sepuluh Ewu".
Ribuan orang yang sebagian besar wisatawan itu berkumpul untuk menikmati kopi bersama di desa adat yang terletak di Kecamatan Glagah itu. Kemiren adalah basis masyarakat Suku Osing (masyarakat asli Banyuwangi) yang menggelar festival yang menyediakan 10 ribu cangkir kopi.
Pada malam itu di sepanjang jalan di depan rumah warga, tersedia bangku, tikar, dan tempat duduk lainnya. Pengunjung bebas memilih singgah di rumah siapa pun untuk menikmati seduhan kopi yang disuguhkan secara gratis oleh warga.
Selain kopi, warga juga menyediakan jajanan tradisional untuk para pengunjung, seperti pisang goreng, apem, kucur, klemben, dan lainnya.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, tradisi meminum kopi bersama ini tak sekadar festival, melainkan ada makna filosifis, merupakan tradisi, hingga mampu menggeliatkan roda ekonomi. "Festival ini sebagai undangan kepada seluruh orang di mana pun untuk datang dan merasakan kehangatan warga Desa Kemiren dalam menyambut tamu," kata Anas.
Anas mengatakan bahwa filosofi warga Desa Kemiren adalah sak corot dadi seduluran, yang artinya sekali seduh kita menjadi bersaudara. "Dengan meminum kopi bersama, kita bersilaturahim. Orang dari berbagai daerah jadi satu di sini, bersenda-gurau, padahal sebelumnya mereka belum saling kenal," ujarnya.
Menurut Bupati, sudah sejak lama masyarakat Desa Kemiren memiliki tradisi menyuguhkan kopi kepada para tamunya. Suguhannya pun khas, yaitu tak menggunakan gelas, tapi menggunakan cangkir khusus yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tak heran, cangkir yang digunakan di setiap rumah dalam festival ini pun seragam karena merupakan cangkir yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya.
"Tradisi masyarakat Kemiren yang suka berbagi inilah yang menjadi ruh dari festival ini, sehingga memiliki nilai lebih dibanding festival kopi lainnya," ujar Anas.
ANTARA