TEMPO.CO, Yogyakarta -Yogyakarta, Kota Pelajar, terkenal dengan ragam kuliner yang pas di kantong mahasiswa. Meski begitu, rasa masakannya jangan diragukan. Seperti beberapa menu sarapan yang ada di Pasar Kranggan ini.
Baca juga: Toilet Bawah Tanah Malioboro Semewah Hotel Dioperasikan
Kalau sedang melancong ke Yogyakarta, tak ada salahnya Anda mencoba.
Wedang Tahu Bu Sukardi
Tahu umumnya dimakan bersama sambal, cabai, atau petis. Atau menjadi hidangan pendamping nasi. Namun, lain halnya yang ditemui Tempo di perempatan Jalan Kranggan, Yogyakarta. Ada sebuah gerobak kecil berwarna merah dengan spanduk bertuliskan “Wedang Tahu Jogja” di sana. Cukup menggelitik bila membayangkan makanan yang kerap dijodohkan dengan tempe itu harus dinikmati dengan cara lain: sebagai minuman.
Asap rempah-rempah mengepul hingga seberang jalan kala si pemilik warung, bu Sukardi, membuka dandangnya. Bau jahe emprit, batang serai, daun pandan, dan gula kelapa menyapa penciuman. Tangan perempuan separuh baya yang akas meracik wedang tersebut merayu hati untuk mampir dan memesan barang semangkuk. Tak lama setelah memesan, bu Sukardi segera meracik wedang.
Kuah jahe kecokelatan disiram ke mangkuk putih berornamen merah khas Tionghoa. Tentu membikin ngiler. Setelahnya, Sukardi menambahkan komplemen utamanya, yaitu sari tahu. Teksturnya lembut dan kenyal saat disendok. Perangainya mirip dengan bubur sumsum: putih dan kental.
Rasanya memang hambar kalau tak dicampur dengan kuah. Namun, ketika disantap bersama bumbu rempah, struktur kenyal berpadu kuah yang kaya rempah langsung menggoyang lidah. Sekali teguk, tandas sudah. Wedang ini dipercaya dapat mengusir masuk angin.
Yang membikin warung ramai, selain unik, adalah keramahan si empunya lapak. Memang, Sukardi tak pelit ilmu. Kepada siapa pun yang bertanya soal resep, ia dengan cakap bakal memberi tahu. “Sari kedelai di-blender, diperas, lalu dikasih campuran pengental. Itu sudah langsung jadi. Tinggal tambah kuahnya, pakai racikan rempah-rempah biasa. Jahenya pakai yang emprit, kecil tapi pedas. Oiya, kedelainya pakai yang impor dari Amerika, kalau lokal sulit dijumpai di pasar,” tuturnya.
Semangkuk wedang tahu Sukardi ini dijual Rp 6.000.
Alamat: Jalan Kranggan Nomor 75, Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta,
Buka pukul: 06.30-09.00
Soto SampahSoto sampah di Jalan Kranggan Nomor 2, Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta. Tempo/Hindrawan
Ada bermacam-macam faktor yang membuat sebuah warung punya banyak pelanggan. Entah jajanannya yang enak, harganya yang murah, atau karakternya yang unik. Yang satu ini dikenal lantaran memiliki ketiganya sekaligus: enak, tak mahal, juga istimewa. Julukannya warung soto sampah. Bukan berarti komponennya terdiri atas bahan-bahan sisa makanan, melainkan terselip cerita khusus di baliknya.
“Yang memberi nama soto sampah justru pelanggan karena dulu di depan warung ini ada bak sampah besar,” tutur Fina Kurniawati, generasi penerus kedua pengelola warung yang berdiri sejak 1970-an itu, saat ditemui Tempo, Desember lalu.
Asumsi lain adalah pilihan lauk pendamping yang amat beragam, yang bila diteropong dari jauh, wujudnya mirip meja yang berserakan sampah makanan. Maklum, ada sekitar 30 macam pilihan, di antaranya sate usus, telur puyuh, ayam, paru goreng, jeroan, dan beraneka gorengan.
Soto yang disajikan sebetulnya terlihat biasa. Sewajarnya soto khas Jawa: berkuah bening dengan nasi dicampur di dalam mangkuk. Isinya pun standar: kubis, bihun jagung, bawang goreng, seledri, dan taoge pendek.
Yang membikin spesial justru dagingnya. Bukan daging ayam atau daging sapi yang dipilih, tapi tetelan (sisa daging yang melekat pada tulang sapi). Tetelan memberi sensasi kenikmatan lain dan membuat kuah tampak berkaldu.
Soto ini enak disantap selagi hangat. Itu sebabnya tamu lebih memilih makan di tempat daripada dibungkus. Lagi pula, pemilik menyediakan puluhan tikar yang digelar di sepanjang trotoar di samping warung. Muda-mudi sering menjadikannya tempat nongkrong. Warung ini buka sampai dinihari.
Soal harga, tentu tak bikin pelanggan mengencangkan ikat pinggang. Hanya Rp 5.000 per mangkuk, tamu sudah bisa makan enak dan kenyang. Sementara lauk-pauk dibanderol mulai Rp 1.000 hingga Rp 5.000.
Alamat: Jalan Kranggan Nomor 2, Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta
Buka pukul: 07.00-03.00
Gandos Rangin Siti
Kue pancong. Itulah nama aslinya. Mulanya berasal dari Jakarta. Orang-orang Betawi meraciknya dari bahan alami, seperti kelapa, tepung beras, dan gula. Di banyak daerah, penganan tradisional berbentuk setengah lingkaran itu berganti nama. Di Bandung, misalnya, masyarakat Sunda menyebutnya sebagai bandros. Tak terkecuali di Yogyakarta. Kue ini di sini dinamai gandos rangin.
“Bahannya sama. Hanya rasanya disesuaikan dengan masyarakat setempat. Kalau di Yogyakarta, karena orang-orangnya suka manis, adonannya diberi banyak gula,” tutur Siti Kholimah, perempuan 35 tahun, yang membuka lapak jualannya di perempatan Pasar Kranggan.
Sambil menuangkan adonan ke loyang cetakan kue, perempuan keturunan Sunda-Jawa itu menjelaskan cara membuat gandos rangin. Mula-mula, tutur dia, yang harus disiapkan ialah adonan dari bahan dasar: tepung, kelapa, garam, dan gula. Kelapa yang dipakai tentu yang masih muda, lalu diparut. Selanjutnya, semua bahan dicampur, dibubuhi air secukupnya. Caranya tak lain seperti membikin adonan terang bulan. Sesudahnya, tinggal dimasukkan ke cetakan hingga warnanya berubah menjadi kecokelatan.
Setelah matang, umumnya, orang Sunda memberi tambahan saus gula merah. Masyarakat Jawa menyebutnya juruh. “Kalau di Yogyakarta sih biasanya hanya pakai taburan gula pasir,” ucap Siti.
Meski sederhana, kue ini menjadi penganan favorit untuk sarapan. “Maklum, harganya murah,” tutur salah satu pelanggan perempuan berusia 28 tahun, yang enggan disebutkan namanya. Benar saja, gandos rangin Siti hanya dibanderol Rp 5.000 untuk sepuluh potong kue. Tak heran kalau gerobak sederhananya yang telah eksis sejak 1999 itu laku diburu warga.
Alamat: Perempatan Pasar Kranggan, Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta
Buka pukul 07.00-10.00
Berita lain: Bandung Kini Punya Forest Walk Sepanjang 2 Kilometer