Ketenangan dan jernihnya air membuat beberapa orang yang ikut tak sabar untuk nyemplung. Setelah perahu merapat ke dermaga kecil, buru-buru mereka bergabung dengan tiga bocah tadi turun ke air. Yang lain, memilih tiduran di atas floaties, pelampung yang berbentuk matras. Bersantai sambil menikmati keindahan Rufas dan tenangnya air.
Sementara itu, saya dan beberapa teman memilih untuk menanjak ke gardu pandang. Kami penasaran, apakah keindahan Rufas masih sama di atas ketinggian. Rio yang melihat kami bersiap menawari jadi pemandu. "Agak licin jalannya, pelan-pelan saja ya," kata dia.
Dari dermaga kecil itu, kami melewati undak-undakan tebing karst curam yang sudah ditambahi semen agar mudah dilewati. Lumut yang menutupi sebagian bebatuan itu membuat permukaannya menjadi licin. Adapun di beberapa bagian permukaan lainnya tak rata dan cenderung lancip. Beruntung di kiri-kanan banyak pohon-pohon kecil yang bisa menjadi pegangan.
Setelah mendaki tiga menit, kami sampai di atas. Sebuah pondok setengah jadi bertingkat dua tegak di puncak. Dari atas pondok itu, laguna di Pulau Rufas ini terlihat makin cantik. Gradasi warna airnya makin terlihat antara biru, biru toska, hijau, dan putih. "Ini seperti surga bocor ke bumi," Sukma, salah satu kawan rombongan, berceletuk.Pondok Kayu di Pulau Rufas (Tempo/Nur Alfiyah)
Saya sepakat. Pemandangan ini sungguh di luar bayangan saya. Semalam sebelumnya saat masih mendapatkan sinyal seluler, saya sempat menjelajah dunia maya untuk mencari tahu tentang pulau tersebut. Beberapa kali menjejalah Internet, tak satu pun informasi yang saya dapat tentang pulau ini. "Rufas belum jadi spot tujuan agensi perjalanan, jadi jarang dikunjungi," kata Ranny, salah satu pemandu wisata kami, kemudian.
Pulau Rufas terletak di Desa Pam, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Turun-temurun, pulau ini dimiliki oleh keluarga Kapisa yang berasal dari Desa Pam. "Ini dari leluhur kami," kata Soleman Kapisa, yang saya temui di salah satu pondok kayu itu.
Sejak 2014, Soleman yang menyadari makin banyak wisatawan berdatangan ke Raja Ampat membangun penginapan di sana. Rumahnya dibangun dari batang pohon dan daun sagu. Adapun listrik dialirkan dari generator dan sel surya. Untuk air bersih, Soleman mengangkutnya dari Desa Pam karena sumber air di pulau kecil itu hanya berasal dari lautan. "Kalau ada tamu, kami angkut ke sini," ujar dia.
Ada dua pintu masuk menuju Pulau Rufas. Lewat celah karst seperti yang kami lakukan atau lewat bagian belakang. Di daratan pulau yang sedikit lebar dan langsung berhadapan dengan laut, Soleman juga membuatkan dermaga untuk perahu bersandar.
Sayang, Soleman tak bisa banyak bercerita tentang pulau yang dimilikinya itu. Ia tak paham tentang seluk-beluk pulau tersebut. Menurut Ranny, hal semacam itu memang umum di Raja Ampat. Para pemuda tak banyak tahu tentang cerita leluhur. Maklum, ikut berkumpul bersama orang-orang tua dianggap tabu. "Makanya cerita sejarah banyak yang terputus," kata dia.
Selanjutnya: Kisah tentang School Fish