Perjalanan kami ke Pulau Rufas pagi itu diawali dengan pengumuman tentang arah kiblat salat subuh lewat pengeras suara di kapal motor Tatamailau. Sebagian penumpang di kelas ekonomi terbangun. Di acara tur Raja Ampat ini, kami menginap di kapal tersebut. Setelah salat subuh, saya dan beberapa teman memutuskan untuk melihat matahari terbit di buritan kapal. Mumpung kegiatan hari ini dimulai agak siang, pukul 8 dengan agenda ke Pulau Rufas.
Irfan Pribady, salah satu pemandu wisata, bergabung bersama kami. Pemuda asli Makassar ini banyak bercerita tentang spot-spot menarik di Raja Ampat. Dengan wilayah yang sangat luas, lebih dari 40 ribu kilometer persegi, Raja Ampat memiliki sumber daya alam yang sangat potensial, terutama di bawah air.
Menurut laporan The Nature Conservancy dan Conservation International, 75 persen spesies laut dunia tinggal di Raja Ampat. Paling tidak, ada 540 jenis karang, 1.511 spesies ikan, 700 jenis moluska, dan masih banyak spesies-spesies lainnya yang belum ditemukan. Tak mengherankan, banyak orang mengatakan Raja Ampat merupakan salah satu tempat menyelam terbaik di dunia.
Menurut Irfan, salah satu primadonanya adalah Melissa’s Garden, tempat menyelam dan snorkeling yang berada di Pulau Fam. “Di sini, orang bisa melihat school fish,” kata dia.
School fish adalah istilah untuk sekelompok ikan sejenis yang berbaris beriringan. Mirip seperti segerombolan anak yang akan berangkat sekolah. Tapi, kata Irfan, para ikan ini lebih teratur. Mereka berbaris dengan urutan, dari yang kecil sampai yang paling besar. Seperti yang tergambar di film Finding Dory ataupun Finding Nemo. Karena ada mereka dan juga karang-karang yang cantik, banyak pengunjung yang tertarik ke sana.
“Kalau lihat mereka itu, orang stres saja pasti ketawa karena lucu,” kata dia. Sayang, perjalanan kami tak mengagendakan snorkeling di tempat itu.
Tak terasa, matahari mulai meninggi. Kami pun bubar untuk bersiap-siap mengunjungi tempat-tempat wisata lagi. Matahari mulai menghangat ketika kami turun dari Tamaliau. Kapal tempel motor sudah bersiap menunggu untuk membawa kami ke destinasi wisata yang sudah dijadwalkan. Pagi ini, seperti yang dijadwalkan, kami akan ber-snorkeling di Pulau Rufas. “Cuacanya bagus untuk snorkeling,” kata Wimbo Hardjito, mantan bos Pelni yang ikut dalam perjalanan tur ini.
Saya melihat ke atas, langit masih berawan. Mendung yang dari semalam menaungi langit Raja Ampat mulai hilang. Angin juga sedang tenang, begitu juga dengan ombak. Dari semalam, sejak kapal besar ini meninggalkan perairan dekat Pulau Mansuar, angin memang sangat tenang.
Perahu motor tempel itu lalu membawa kami ke arah barat daya, menuju gundukan pulau yang tak jauh dari tempat kapal besar bersandar. Tak sampai lima menit, kami sudah mendekati pulau-pulau karst ini. Tulisan “Welcome to Piaynemo” di sebuah papan kecil yang ditaruh salah satu pulau kecil menyambut kami. Perahu kemudian berbelok, menjauhi pulau-pulau besar. Di perairan yang sedikit dangkal, mesin dimatikan. “Karena di Pulau Rufas tak boleh banyak-banyak, kita snorkeling di sini dulu ya,” kata Rio.
Rupanya, kami belum sampai di Pulau Rufas. Rio membawa kami ke Piaynemo, “melenceng” dari tujuan. Piaynemo adalah destinasi wisata baru di Raja Ampat. Banyak orang yang menyamakannya dengan Wayag, ikon Raja Ampat yang sudah terkenal di penjuru dunia itu. Wilayah Piaynemo ini dipenuhi dengan gugusan karst, mirip Wayag. Namun, karena ukurannya yang lebih mini, orang menyebutnya Wayag Kecil.
Sama seperti Pulau Rufas, Piaynemo juga dimiliki secara turun-temurun oleh sebuah keluarga, keluarga Elly Dimara. Menurut Elly, nama Piaynemo berasal dari bahasa Biak. Piay berarti bagian tombak yang dipasang ke gagang. Jika dilihat dari jauh, pulau ini terlihat terputus, dengan ujung seperti mata tombak. “Dilihat semakin dekat, mereka menyatu,” tutur dia.
Wisatawan biasanya mendatangi tempat ini untuk melihat tebing-tebing karst dari atas ketinggian. Untuk melihatnya, pengunjung tak perlu bersusah-payah mendaki tebing karst seperti di Wayag. Di Piaynemo sudah dipasangi anak-anak tangga dari kayu, juga gardu pandang yang nyaman.
Tapi pagi ini, kami datang bukan untuk melihat Piaynemo dari ketinggian. Rio mengajak kami untuk menyelami air laut yang jarang dilakukan wisatawan lainnya. Kami ber-snorkeling di dekat bukit karst yang menjulang tinggi.
Tak lama setelah menyebur, segerombolan ikan lewat di bawah saya. Semua warnanya abu-abu, ukurannya tak lebih besar dari telapak tangan. Mereka berbaris. Ke mana pun ikan paling depan bergerak, yang lain mengikuti. Sesaat saya melongo melihat mereka. Ini school fish!
Rupanya gerombolan ikan yang diceritakan Irfan tadi pagi juga ada di Piaynemo. Saya makin bersemangat menggerakkan kaki. Makin dalam, air makin biru dan karang-karang cantik makin bertambah banyak. Ada yang bentuknya seperti batu besar berwarna cokelat, tulang daun raksasa, atau mangkuk besar yang semuanya menyihir mata.
Di atas mereka, gerombolan school fish dari berbagai jenis hilir-mudik, tak terganggu oleh kehadiran saya yang terpesona memandangi mereka. Sungguh pemandangan yang sangat istimewa. Memang benar guyonan Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Aturury: “jangan mati dulu sebelum melihat Raja Ampat”.
Nur Alfiyah