TEMPO.CO, Cilacap - Nasidah, 45 tahun, terpekur khidmat. Mulutnya komat-kamit tak henti memanjatkan doa. Di depannya, tenong miliknya tertata rapi bersama ratusan tenong lain milik warga Desa Karangjati, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Tenong-tenong ini merupakan bagian dari ritual keselamatan sedekah bumi yang menjadi tradisi di Desa Karangjati, Susukan, Banjarnegara.
Jaya Martono, 67 tahun, tetua adat setempat, mengatakan tenongan merupakan acara sedekah bumi yang sudah dilakukan selama ratusan tahun. “Jumlah takir atau nasi bungkus dalam satu tenong harus berjumlah 12 bungkus. Itu menandakan doa selama 12 bulan atau satu tahun,” ujarnya saat ditemui pada Jumat, 23 Oktober 2015.
Baca Juga:
Untuk membuat tenong pun membutuhkan biaya yang tak sedikit. Seperti Nasidah. Untuk membuat satu tenong, dibutuhkan sedikitnya biaya hingga Rp 150 ribu. Tiap penduduk berbeda pengeluaran, bergantung pada kemampuan si pembuat tenong. Ada juga warga yang hanya membuat rujak karena tak mampu membeli nasi lengkap dengan ubo rampe-nya.
Tenongan, kata dia, dilakukan setiap hari Selasa Kliwon atau Anggara Kasih atau Jumat Kliwon dalam bulan Suro penanggalan Jawa. Menurut dia, hari itu merupakan hari yang sakral dan dilakukan secara turun-temurun.
Takir sendiri berasal dari kata “nata pikir”, yang bermakna bahwa manusia dalam menjalani hidup dari tahun ke tahun perlu menata pikirannya. Sedangkan pola pikir pada berikutnya harus diperbaiki dari tahun lalu agar bisa hidup dengan tenang dan damai. Ia menyebutkan ada tiga doa yang dilantunkan setiap acara itu, yakni doa selamatan, doa Luta Lutu untuk menghindari bencana alam, dan doa Nel Kinel untuk keselamatan semua umat manusia.
Ia menambahkan, sedekah bumi merupakan bentuk tradisi untuk berbakti kepada Tuhan, pemilik kehidupan. Meski dalam kondisi paceklik, mereka diharuskan mengikuti sedekah bumi ini. Begitulah kepercayaan mereka. Menurut Kepala Desa Karangdjati, Kusyati, 1.000 dari 4.332 warga ikut berpartisipasi menyumbang tenong dalam acara sedekah bumi ini. “Ada 11 ribu takir isi tenong yang nantinya saling ditukar oleh penduduk,” katanya.
Wakil Bupati Banyumas Hadi Supeno mengatakan tradisi leluhur tenongan harus tetap dilestarikan. “Di tengah rasa kegotongroyongan yang semakin menipis, tradisi ini harus dilanjutkan,” tuturnya.
Ia mengatakan kemarau tahun ini terbilang cukup panjang. Melebihi 90 hari atau masuk kategori kemarau ekstrem. Ia berharap warganya tetap bergotong-royong dalam melewati krisis tersebut.
ARIS ANDRIANTO