Saya sudah beberapa kali mengunjungi monumen ini. Kunjungan terakhir saya pada Senin, 11 Mei 2015. Monumen ini memang sepi pengunjung. Hanya ada beberapa anak bermain layang-layang ketika saya sambangi. Barangkali tanpa tulisan besar di bagian tengah, saya tak pernah tahu jika ini monumen jalan bersejarah itu. Sebab tak ada deskripsi atau diorama yang menjelaskan mengenai sejarah pembangunan jalan tersebut.
Beberapa beton memang terlihat retak-retak. Taman bunga di bagian depannya tampak tak tertata dan mulai mengering. Bahkan sebelumnya, saya pernah melihat warga memanfaatkan monumen ini untuk menjemur pakaian atau bantal.
Tak hanya soal pengerjaan proyek, batas akhir jalan Anyer-Panarukan ternyata masih kontroversi. Menurut sejarawan dari Universitas Negeri Jember, Edy Burhan Arifin, titik nol akhir jalan Daendels sebenarnya bukan di monumen tersebut. “Monumen tersebut salah posisi,” kata Edy, Rabu, 13 Mei 2015.
Dari sejumlah sumber sejarah, tutur Edy, titik akhir Jalan Daendels sesungguhnya berada di 300 meter sisi barat jembatan Sungai Sampeyan. Sebab, jembatan Sungai Sampeyan tersebut baru dibangun pada 1883. Dulunya ada patok yang memuat keterangan titik akhir Anyer-Panarukan. “Sayangnya patok tersebut sudah dibongkar,” kata penulis buku Quo Vadis Hari Jadi Situbondo ini.
Meski begitu, Edy mengapresiasi upaya pemda setempat membuat monumen. Apalagi lokasi titik akhir jalan Daendels saat ini sudah padat permukiman penduduk sehingga tak mungkin digusur untuk membuat monumen. “Ya, daripada tidak ada monumen sama sekali,” kata dia.
IKA NINGTYAS