TEMPO.CO, Jakarta--Upacara ngabekten merupakan ritual keluarga Keraton Yogyakarta usai menunaikan ibadah sholat Iedul Fitri di alun-alun utara. Saat itulah, Adipati Puro Pakualaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam IX dan keluarga, keluarga keraton, juga para abdi dalem menghadap Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X untuk sungkeman. Bagi masyarakat umum, sungkeman juga dilakukan sebagai wujud permohonan maaf dari anak kepada orang tua maupun antar anggota keluarga.
Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat atau kerap disapa Romo Tirun Marwito menjelaskan, ngabekten akan dimulai pukul 09.00 WIB pada 8 Agustus. Jika pemerintah menetapkan 1 Syawal pada waktu yang berbeda, pihak keraton telah menetapkan 8 Agustus. Upacara ngabekten dibagi menjadi dua tahap. Lebaran hari pertama adalah rombongan laki-laki dan lebaran hari kedua adalah rombongan perempuan.
"Istilah menghadap bagi rombongan laki-laki adalah sowan. Sedangkan rombongan perempuan adalah marak," kata Romo Tirun kepada Tempo, Ahad (4/8).
Upacara ngabekten digelar di bangsa Kencana keraton. Pukul 09.00 WIB, semua abdi dalem harus telah berkumpul di sana. Duduk di kursi adalah Paku Alam IX, para pangeran Paku Alaman, para pangeran keratin yang merupakan adik-adik Sultan. Duduk di bawah di bangsal adalah para menantu Sultan. Sedangkan yang duduk di emperan bangsal adalah para abdi dalem. Mereka adalah bupati/walikota dan wakilnya atau pun mantan pejabat yang sekaligus merupakan abdi dalem, seperti Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti dan mantan Walikota Herry Zudianto. Namun ada pula bupati yang bukan abdi dalem, seperti Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, Bupati Sleman Sri Purnomo.
"Yang abdi dalem wajib datang. Kalau yang bukan, tidak wajib, tapi boleh hadir," kata Romo Tirun.
Pada pukul 09.30 WIB, seorang abdi dalem keratin memberikan aba-aba dengan meneriakkan kata raos dari bahasa Inggris rise yang artinya bangkit. Aba-aba itu menandakan Sultan akan memasuki bangsal Kencana dari Proboyoso. Aba-aba tersebut kemudian disambut oleh abdi dalem yang menjadi niyaga gamelan dengan kata raos pula. Barulah gending Raja Manggala dan Prabu Mataram mengalun sayup-sayup menyambut kehadiran Sultan.
"Aba-aba itu perlu. Jangan sampai Sultan sudah duduk, gamelan baru bunyi. Bisa dimaklumi karena abdi dalem rata-rata sudah tua. Meski usia 50-an itu masuk kategori muda," kata Romo Tirun sambil terkekeh.
Sesampai di bangsal, Sultan pun duduk di kursi. Dia mengenakan pakaian attakwa, yaitu atasan putih dan bawahan nyamping atau kain. Perlengkapan lainnya adalah dhuwung atau keris dan destar atau iket (ikat kepala). Pakaian attakwa adalah pakaian sederhana Mataraman yang sebenarnya adalah pakaian sehari-hari keraton. Sedangkan pakaian untuk para abdi dalem disebut atela.
"Pakaian tersebut mulai dikenakan pada masa HB IX. Karena pada masa beliau adalah zaman susah, pascakemerdekaan. Sehingga beliau menyederhanakan upacara, termasuk pakaiannya," kata Romo Tirun.
Berbeda dengan upacara yang digelar para sultan pendahulu HB IX yang lebih rumit. Usai Sultan duduk, prosesi sungkeman dimulai. Para keluarga keraton dan puro memulainya. Sebelum laku ndhodhok (jalan jongkok), terlebih dahulu mereka meletakkan kerisnya di atas kursi masing-masing. Lalu sungkem kepada Sultan dengan terlebih dahulu menghaturkan sembah.
Khusus PA IX tidak melakukan sembah kepada Sultan, melainkan sembah karno. Yakni dengan mengangkat kedua tangan ke samping telinga kiri dan kanannya dan menurunkannya secara cepat.
"Tapi itu bukan gerakan takbir dalam sholat loh. Kenapa PA IX melakukan sembah karno, karena usianya lebih sepuh dari Sultan," kata Romo Tirun.
Pada pukul 13.00 WIB, upacara ngabekten khusus para abdi dalem wedana kepada Sultan. Sedangkan ngabekten untuk keluarga dan abdi dalem perempuan yang marak dilakukan keesokkan harinya, 9 Agustus. Upacara tersebut juga dilangsungkan di bangsal Kencana dengan dihadiri permasuri Gusti Kanjeng Ratu Hemas, anak-anak Sultan, keluarga keraton dan puro, juga abdi dalem. Bupati yang menjadi abdi dalem adalah bupati Bantul Sri Suryawidati. Sedangkan bupati Gunung Kidul Badingah tidak wajib ngabekten.
"Bedanya, untuk ngabekten hari kedua seremoninya lebih sederhana lagi. Tidak perlu ada aba-aba raos," kata Romo Tirun.
Sedangkan persamaan semuanya, bahwa Sultan selalu hadir belakangan saat prosesi ngabekten dimulai. Namun ketika usai, Sultan meninggalkan bangsal paling akhir setelah abdi dalem yang terakhir sudah tak terlihat pandangan mata.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Terhangat:
Mudik Lebaran | Ahok vs Lulung | Capres 2014
Baca juga:
Yogya Siapkan Pemandu Wisata Berblankon di Pasar
Selama Puasa, Kebun Binatang Maharani Sepi
Tim TNBTS 'Berburu' Elang Jawa di Bromo-Semeru
Sail Komodo Ditunda, Kapal Peserta Kena