TEMPO.CO, Ubud - Sate kakul atau sate siput bukan pendatang baru di dunia kuliner Indonesia, termasuk di Bali. Deretan beberapa siput dalam satu tusukan bilah bambu ini cukup identik dengan masakan desa atau masakan kampung.
Citra ini melekat karena jenis makanan ini umumnya lebih banyak dikonsumsi orang-orang di desa. Dulu, mereka mendapatkannya di sawah yang masih ditanami padi. Tapi jangan salah, selera kampung ini sudah mulai naik kelas. Belakangan, penikmatnya bukan saja warga-warga yang sudah terbiasa makan hewan berlendir ini.
Pengagum-pengagum baru malah banyak yang berasal dari luar Bali. "Biasanya wisatawan yang dari Jawa, kalau ke sini pasti pesan sate kakul. Kalau sudah habis atau lagi kosong, mereka langsung balik, enggak mau makanan yang lain," kata Nyoman Seni, pengelola Warung Sate Kakul di Banjar Tebongkang, Singakerta, Ubud, Gianyar, Bali.
Padahal, di warung dengan kursi kayu ini juga menyediakan masakan lainnya, sejenis ikan dan ayam. Rupanya, makanan yang disajikan delapan tusuk dalam satu porsi ini sudah menjadi trade mark tambahan di Ubud. Posisinya pun mulai layak disejajarkan dengan makanan restoran ternama lainnya.
Meracik sate kakul tidak terlalu sulit. Tahap pertama, seluruh siput dibersihkan dengan air bersih, lalu ditusuk. Setelah dalam bentuk tusukan, semuanya disimpan dalam freezer, agar bisa diambil dan dibakar sewaktu-waktu saat datang pemesan.
Seni, yang kerap disapa Bu Siska ini, tidak meramu bumbu khusus untuk sate kakul. Perempuan asal Tabanan, Bali, ini memilih bumbu manis ikan bakar pada umumnya untuk dilumurkan dalam sate.
Adonan manis ini berasal dari adonan kecap dan gula merah dengan taburan bawang merah. Sedangkan untuk memperoleh rasa yang gurih pada sate, Seni mengoleskan ramuan kecap manis, kemiri, serai, tomat, dan saos tiram, sebelum membakar sate.
"Umumnya memang berasa pedas," kata Seni. Tapi, banyak pula pengunjung yang memesan agar pedasnya dikurangi, dan itu bukan masalah. Soalnya, adonan bumbu dibuat saat itu juga. Apalagi kalau pemesannya adalah wisatawan mancanegara. Mereka sama sekali tidak mau sate kakul dengan rasa pedas.
Menurut Seni, kaum bule sudah mulai menyukai sate kakul. Sebagian, ada yang sekali mencoba langsung suka. Ada pula yang menyukainya setelah beberapa kali makan.
"Awalnya, mereka memang bertanya, kakul itu apa? Setelah dijelaskan, reaksinya macam-macam, ada yang langsung mau coba, ada yang langsung pergi," kata perempuan yang sudah bergulat dengan sate kakul sejak lama. Siput dalam keadaan masih hidup bisa ditemukan di sekitar warung.
Bule yang ingin mencoba, biasanya memesan setengah porsi saja. Dan, tentu saja yang tidak pedas. Kalangan bule yang sudah sering mencoba ke Warung Sate Kakul ini dari berbagai negara hanya untuk menikmati sate kakul. Seingat Seni, Rusia paling banyak. Jepang juga banyak yang berminat, tapi mereka lebih menyukai jenis ikan. Dan, meskipun sate kakul ini adalah masakan khas desa, warga lokal sekitar warung juga tak bosan. Mereka biasanya pesan sate dan bir. "Enak katanya," kata Seni sambil tersenyum.
Seni menyajikan sate kakul seharga Rp 7 ribu dengan 8 tusukan. Sate kakul biasanya dirangkai dengan sayur ares (dari batang pisang) sebagai pelengkapnya.
Mengapa sayur ares? Karena masakan ini adalah khas Bali. Seni ingin menawarkan satu paket makanan yang seluruhnya berbau Bali. Jika ditambahkan dengan nasi putih, satu paketnya dibanderol Rp 15 ribu. Dari mana kakul didapat? Seni membelinya dari peternakan khusus di kawasan Sibang, Badung.
KETUT EFRATA
Berita Lainnya:
Toilet Umum Dibahas di Forum Wisata ASEAN
Kemacetan Ancam Pariwisata Bali
Sedapnya Belut Lado Hijau Langganan Menteri Gamawan
Tujuan Wisata Heritage Asean: Borobudur, Prambanan, dan Sangiran
Kata ''BBM'' Masuk Kamus Bahasa Inggris
New York Times Soroti Pencalonan Joko Widodo