TEMPO.CO , Gwangju - Petualang menikmati Museum di Korea, masih berlanjut. Kali ini kota tempat demokratisasi Korea dimulai, Gwangju. Saya mengunjungi Gwangju National Museum bersama keluarga homestay yang tinggal di Propinsi Jeollanam-do ini.
Museum Nasional ini dibuka dari Selasa hingga Ahad, dan tutup saban Senin. Letaknya tak terlalu jauh dari Chonham National University, Perguruan tinggi terbesar di Gwangju. Cukup 20 menit jalan. Yang menyenangkan adalah, tak ada biaya untuk menikmati isi museum yang mengungkap sejarah peradaban Korea ini.
Baca Juga:
Memasuki halaman, pengunjung disodori taman dengan bunga cherry yang mekar di musim panas. Di tengah-tengah taman ada kolam yang bisa dilintasi dengan meloncat-loncat di atas bebatuan. Pengunjung kanak-kanak suka melintasi jalur kolam tersebut.
Tibalah di gedung utama berlantai dua dengan dominasi warna putih. Kami datang saat suhu di Gwangju berkisar 34-35 derajat Celcius pada 11 Agustus 2012. Dari pintu masuk, museum bahkan menyediakan payung bagi pengunjung untuk perjalanan dari pintu masuk ke gedung utama.
Tur museum sejarah kali ini dimulai dari sayap kanan gedung. Dari awal, pengunjung di arahkan untuk melihat sejarah perkembangan peradaban bangsa Korea dari zaman berburu hingga bercocok tanam. Aneka gerabah dan alat bantu berburu dipamerkan. Alat yang sebenarnya bisa dijumpai di Indonesia pula.
Tapi ternyata budaya bangsa Korea tak banyak berubah sejak zaman bercocok tanam, khususnya dari cara makan, berhias dan membuat gerabah. Mereka banyak menggunakan aneka perkakas untuk makan, dan sirkam yang serupa untuk berhias dan mulai mengembangkan kerajinan gerabah.
Kerajinan gerabah kemudian berkembang menjadi kerajinan keramik, khususnya di Jeollado. Dan mereka mempunyai motif khusus yang sudah melanglang buana kemashurannya, motif tersebut dikenal sebagai dengan Goryeo Celadon.
Sejarah tak lepas juga soal aksara. Di Museum ini diungkap pula perkembangan aksara Korea (Han-Geul) dan karya-karya penulisnya. Tak ketinggalan pula pengaruh masuknya Budha ke Korea juga muncul. Ada sejumlah patung Budha tersenyum (Arhat statue), Budha berpasangan (pria dan wanita) dan Budha berlapis emas.
Ada yang mengusik perhatian di peradaban negeri K-Pop ini, yaitu pekuburan purba. Dahulu bangsa Han (bangsa Korea) menggunakan semacam kapsul tanah liat untuk mengebumikan jenazah. Jadi semacam peti jenazah berbentuk kapsul.
Dibanding dengan dua museum yang pernah saya kunjungi sebelumnya, museum kali ini relatif sama dengan yang ada di Indonesia. Tidak ada bagian khusus yang bersifat interaktif atau memanfaatkan multimedia. Tapi menilik situs resmi mereka di gwangju.museum.go.kr, ternyata Gwangju National Museum acap juga menggelar pameran khusus dan program spesial untuk remaja dan anak-anak.
DIANING SARI
Berita travel lainnya:
Libur Lebaran, Turis Bromo Mencapai 15 Ribu Orang
Pulau Morotai Akan Dijadikan Cagar Budaya
Jalur Wisata Cilegon-Anyer Lumpuh
Gunung Takuban Perahu dalam Status Waspada
12 Kota Religi Umat Muslim
3 Tempat Wisata ''Aneh bin Ajaib''
Lantaran Difilmkan, 7 Lokasi Wisata Jadi Terkenal
Agustus, Festival Musik Bambu hingga Layang-layang
Kereta Kuno Jaladara Laris Manis
Hati-hati, Gunung Bromo Rawan Longsor
Bersorak di Lapangan Baseball Gwangju