TEMPO.CO, Jakarta - Kota Depok, Jawa Barat, memiliki banyak peninggalan zaman kolonial, salah satunya adalah pemakaman Belanda di Depok Lama. Pemakaman yang berada di Jalan Kamboja, Kecamatan Pancoran Mas, itu didirikan pada 1851 dan kini berstatus cagar budaya.
Tempat Pemakaman Umum atau TPU Kamboja menjadi salah satu spot yang dikunjungi dalam walking tour Depok Lama bersama dengan Jakarta Good Guide, Sabtu, 10 Agustus 2024. Di pemakaman ini terdapat banyak makam orang Belanda dan Belanda Depok.
Belanda Depok merupakan sebutan untuk orang-orang pribumi yang dahulu bekerja di perkebunan milik Cornelis Chastelein, pedagang dan mantan pejabat VOC. Ketika meninggal pada 1714, Chastelein mewariskan perkebunan 1.200 hektare kepada 150 pekerjanya yang kemudian disebut Belanda Depok. Mereka berasal dari 12 marga.
Pemakaman Belanda itu sepi saat rombongan walking tour dengan 9 peserta itu tiba. Dynasti Ara, pemadu dari Jakarta Good Guide, menjelaskan bahwa ada sekitar 2.000 jenazah orang Belanda maupun Belanda Depok yang dikubur di sini. Di pintu makam terdapat gerbang tembok putih dengan tulisan "Taman Pemakaman Kristen Cagar Budaya". Pagar gerbang itu terkunci, tapi pengunjung bisa masuk melalui pintu kecil di sampingnya. Sebelum memasuki makam, terdapat selasar panjang yang bisa digunakan pengunjung untuk duduk dan beristirahat.
Tombe Cornelis de Graaf dan Johanna Maria Kats de Graaf di pemakaman Belanda di Depok. TEMPO/Mila Novita
Tombe Belanda
Begitu memasuki kawasan pemakaman, di sebelah kanan terdapat satu tombe atau bunker makam yang menarik perhatian karena ukurannya. Makam ini mirip tugu dengan tinggi sekitar dua meter. Di dua sisi dindingnya tertulis nama Cornelis de Graaf dan Johanna Maria Kats de Graaf dengan keterangan dalam bahasa Belanda. Cornelis de Graaf meninggal pada 1912 dan Johanna pada 1925.
De Graaf merupakan misionaris Belanda di Batavia. Dia bersama istrinya dikenal karena membangun balai kesehatan yang menjadi cikal-bakal Rumah Sakit PGI Cikini yang sekarang dikelola jaringan Primaya Hospital.
De Graaf membangun rumah sakit itu setelah membeli rumah pelukis kenamaan Raden Saleh seharga 100 ribu gulden pada 1895. De Graaf bukan orang kaya, dia mendapatkan dana itu dari Ratu Emma di Belanda.
"Mereka sebelumnya sudah dikenal karena pernah membangun rumah untuk berobat masyarakat kelas menengah ke bawah," kata Ara.
Satu lagi makam yang menarik perhatian di sini adalah tombe berdinding lebar di sebelah kiri. Tombe tersebut berdinding putih dengan tulisan beberapa nama, yang terbesar adalah Adolf van der Capellen. Dari keterangannya yang tertulis dalam bahasa Belanda, Adolf lahir pada 15 Januari 1825 dan meninggal 6 April 1888.
Adolf merupakan kerabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van der Capellen.
"Karena dia punya jabatan di zaman Belanda, makanya tombenya lebih besar," kata Ara.
Ara mengatakan, dulu tombe ini hanya berupa tiang yang bisa diangkat. Jadi jika ada keluarga Adolf meninggal, jenazahnya bisa dimakamkan di satu tombe. Namun, di antara tiang itu sudah dibuatkan tembok karena tak ada lagi keluarga Adolf di Indonesia.
Di tombe itu juga tertulis beberapa nama lain, termasuk istrinya, Elise Remisa. Ada juga Frans dan R.L.J van der Capellen dan Abrahamina van der Capellen.
Ara mengatakan, dulu pemakaman Belanda ini juga digunakan untuk masyarakat umum. "Sekarang khusus untuk 12 marga (Belanda Depok) itu," kata dia.
Pilihan Editor: Depok Lama akan Ditata Jadi Kawasan Wisata Sejarah, Kerja Sama dengan Belanda