Menonton Pertunjukan Ninja Show
Saat kami datang, waktu mendekati jadwal Ninja Show. Jadi kami menonton pertunjukan Ninja yang menempati Theatre Zone, karena sungguh sayang kalau dilewatkan. Apalagi menonton pertunjukan ini gratis.
Selama setengah jam, kami terpana menyaksikan atraksi para ninja dan samurai yang bisa bergerak loncat ke sana ke mari di atap rumah, lalu terjun ke bawah dengan enteng seperti tidak ada gravitasi bumi. Bahkan ia bisa berpindah ke atap rumah dengan cari setengah berlari berpijak pada tembok. Mereka profesional dan butuh latihan bertahun-tahun.
Ninja Show ini menceritakan pertarungan antarshinobi (ninja), 500 tahun lalu. Ada calon shinobi yang nyadran di rumah seorang sesepuh shinobi, Dia menjadi saksi bagaimana gurunya dibunuh oleh shinobi yang berkhianat. Si shinobi yang berwajah bak actor Korea itu, membalas dendam atas ‘kematian’ gurunya yang tiba-tiba datang kembali untuk membantunya.
Sayangnya, kami tak boleh merekam atau memotret pertunjukan dengan alasan melindungi hak cipta. Sehingga pertunjukan apik ini tak bisa dibuktikan di sini.
Melempar Shuriken dan Panah
Setelah menonton Ninja Show, kami diberikan waktu bebas sebelum berkumpul untuk merasaka mi soba di salah satu restoran. Kami diarahkan ke Shuriken Dojo, rumah yang menjadi tempat melemparkan shuriken ke lingkaran sasaran. Meski ada yang menempel, sayangnya shuriken itu menancap di luar lingkaran.
Percobaan berikutnya adalah melempar busur panah ke tempat sasaran. Setelah berlatih cepat, kami diberikan kesempatan tiga kali. Satu busur panah yang saya lepaskan berada di lingkaran sasaran, meski bukan yang utama. Saat itu, saya merasa benar-benar seorang ninja setelah berhasil melesakkan satu busur ke sasaran.
Melempar shuriken, senjata tradisional yang digunakan ninja. Foto: Istimewa.
Kami kemudian masuk ke rumah hantu. Sebelum masuk, saya melihat rombongan sekolah dasar anak-anak Jepang. Mereka terlihat senang melihat saya yang langsung disimpulkan sebagai wisatawan lantaran satu-satunya yang mengenakan hijab. Mereka mencoba menyapa saya. “Hello…,” teriak mereka. Saya pun meladeni dan bercanda dengan mereka.
Semula, saya diliputi keraguan saat mau masuk ke rumah hantu. Bayangan bertemu hantu Sadako di film horor Jepang dengan rambut menutupi muka tiba-tiba muncul dari dalam sumur.
Tapi mungkin ekspektasi saya berlebihan. Tak seperti warga lokal yang menjerit ketakutan, reaksi saya justru mengernyit, keheranan lantaran tak menakutkan sama sekali. Lebih mengerikan masuk ke wahana rumah hantu di Dufan.
Saya kemudian memilih beristirahat. Kesempatan ini saya gunakan untuk membeli sate mochi, sebagai makanan khas Jepang. Satu tusuk sate berisi tiga mochi yang dijual dengan harga 300 Yen. Sayangnya, mochi dari tepung ketan yang dijual di pasar Kota Edo ini tak ada isinya, hanya manis. “Lebih enak mochi Cianjur,” gumam saya.
Jangan Lewatkan Menyantap Mi Soba dan Tempura
Mi soba dan tempura yang disajikan di salah satu restoran di dalam Edo Wonderland, Nikko, Jepang. Foto: TEMPO| Istiqomatul Hayati.
Perjalanan di Edo Wonderland kami akhiri dengan menyantap mi soba dan tempura. Kami memesan mi soba panas, sedikit menyalahi aturan lantaran yang otentik justru mi soba dingin. Tapi mi soba panas ini bisa menawar dingin di Nikko yang bersuhu 12 derajat saat kami datang di sana di musim gugur.
Untuk merasakan petualangan di Edo Wonderland, Anda harus merogoh 5.800 Yen untuk dewasa dan 3.000 Yen anak-anak. Harga ini membebaskan Anda seharian menjelajahi Kota Edo seharian. Tapi jika Anda membelinya setelah pukul 14 atau 13 saat musim dingin, tiket dipatok dewasa 5.000 Yen dan anak-anak 2.600 Yen.
Dari Tokyo, Anda bisa menggunakan kereta ke Stasiun Kinugawa lalu berganti bus sampai di parkiran Edo Wonderland.
Pilihan Editor: Mengunjungi Sendai, Kota dengan Sejarah Samurai di Jepang