TEMPO.CO, Toraja Utara - Bertha terbaring tak bergerak di sudut Tongkonan, rumah adat suku Toraja malam itu. Kulit wajahnya terlihat kasar dan sebagian menghitam. Dia mengenakan kalung dan baju berkelir cokelat motif sulur-sulur dan dedaunan. Aroma formalin tercium kuat di ruangan.
Nenek berusia 80 tahun itu meninggal tiga bulan yang lalu. Tapi, keluarganya memperlakukan seakan dia masih hidup. Segelas kopi menemani Bertha di samping peti. “Nenek masih sakit,” ujar cucunya, Bangkit Tiku Senobua’ ditemui di rumahnya di Kecamatan Kesu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Kamis, 17 Agustus 2023.
Rumah Tongkonan milik keluarga Bangkit terletak di perbukitan. Anjing melolong tak henti-hentinya ketika gerimis datang. Saya datang bersama pegiat Serikat Jurnais untuk Keberagaman (SEJUK), Tantowi Anwari melihat jenazah yang disimpan di rumah atau orang Toraja mengenalnya sebagai tomakula’.
Tradisi Simpan Jasad Bagi Orang Toraja
Menyimpan dan memperlihatkan jasad seseorang di dalam rumah bagi orang Toraja merupakan tradisi yang berjalan selama berabad-abad. Saat orang meninggal, jasadnya tidak langsung dimakamkan, tapi disemayamkan terlebih dulu selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Keluarga menjaga dan merawat jenazah.
Mereka memperlakukan jenazah itu layaknya orang yang sedang sakit. Keluarga membawakan makanan, minuman, memandikan, dan dan memakaikan baju. Mereka punya kepercayaan jika tidak merawat mendiang dengan baik, maka keluarga akan mendapatkan kesialan atau kesukaran dalam hidup.
Baca juga:
To makula atau jenazah yang diawetkan dan disimpan di rumah di Desa Kete Kesu, Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Kamis, 17 Agustus 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)
Bangkit mengatakan Bertha meninggal pada 20 Mei tahun ini karena sakit. Keluarga menunggu hingga siap mengucapkan selamat berpisah dan menyiapkan finansial untuk upacara pemakaman atau dikenal sebagai rambu solo. “Kami tunggu kesepakatan keluarga,” kata Bangkit.
Dalam tradisi agama lokal suku Toraja, Aluk Todolo, jasad diawetkan dengan akar-akar tanaman dan rempah-rempah yang digosokkan ke sekujur tubuh. Namun, sekarang keluarga menyuntikkan formalin ke jenazah.
Ritual Rambu Tuka Diikuti dengan Penyembelihan Kerbau
Kerabat dan tetangga mengunjungi mendiang sebagai bentuk menjaga hubungan emosional. Mereka percaya mendiang berada di sekitar mereka dan bisa mendengar. Jenazah Bertha akan menjalani upacara pemakaman di desanya. Orang Toraja meyakini pemakaman sebagai peristiwa penting karena jiwa seseorang memulai perjalanan panjang hingga ke akhirat dan jiwa akan bereinkarnasi.
Ritual rambu tuka diikuti dengan penyembelihan kerbau yang diyakini sebagai jalan untuk memudahkan perjalanan mendiang ke alam baka. Daging kerbau itu dibagikan kepada para tamu.
Orang Toraja menghabiskan sebagian harta mereka untuk menggelar ritual rambu tuka yang mewah. Setelah keluarga merasa tabungannya cukup, mereka mengundang kerabat dan tetangga untuk datang saat prosesi rambu tuka. Semakin kaya keluarga mendiang, maka upacara kematian semakin mewah.
Umat Kristen dan Aluk Todolo Hidup Berdampingan di Toraja
Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Toraja, Aldio menyebutkan penganut agama Kristen atau agama mayoritas di Toraja hidup berdampingan dengan ritual Aluk Todolo. Ritualnya tetap menggunakan Aluk Todolo, hanya ada tambahan kebaktian pada umat Kristen. Memang ada sebagian aliran di Kristen Protestan yang melarang ritual Aluk Todolo saat pemakaman. Tapi, jumlahnya sangat sedikit.
Erong atau kuburan yang menggantung di sela-sela gua tebing di desa adat Kete Kesu Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Rabu, 16 Agustus 2023 (TEMPO/Shinta Maharani)
Aldio mencontohkan tradisi potong 24 ekor kerbau dan prosesi lainnya dalam pemakaman merupakan bagian dari ritual Aluk Todolo yang bertahan di Toraja. Jumlah kerbau yang dipotong sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga mendiang. Dahulu hanya golongan bangsawan yang bisa menyembelih 24 ekor kerbau. Namun, kini terjadi pergeseran.
Di zaman modern seiring dengan perbaikan kondisi perekonomian, semua kalangan apabila punya kemampuan ekonomi yang cukup bisa menyembelih 24 ekor kerbau, bahkan lebih. “Keluarga mendiang bisa memberi makan masyarakat kalau banyak potong kerbau,” kata dia.
Kini, memotong kerbau menjadi sesuatu yang prestise bagi keluarga orang yang mati. Semakin banyak kerbau yang dipotong, maka membuat keluarga tersebut dihormati warga kampung.
Menurut Aldio, jumlah kerbau tak menentukan status sosial keluarga yang ditinggalkan mendiang. Kelas sosial, seperti bangsawan, kelompok menengah, dan kelompok bawah akan terlihat saat prosesi pemakaman. Bila saat prosesi pemakaman terlihat lima keris ditempatkan di lakean’ atau tempat menaruh jenazah, maka keluarga yang bersangkutan tergolong sebagai bangsawan.
Setelah prosesi pemakaman selesai, keluarga mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Jasad dikebumikan di makam keluarga atau mirip rumah mini di tepi jalan yang disebut patane. Ada juga yang dimakamkan di gua maupun tebing yang dikenal sebagai erong dan di gua-gua sekitar pegunungan. Gua menjadi penghubung dunia orang hidup dan alam baka.
Pilihan Editor: Tren Pariwisata Dark Tourism, Apakah itu?