Yogyakarta Ibu Kota RI di Zaman Revolusi
Sebab beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta diduduki tentara sekutu maka Pemerintah RI harus mengungsi dari Jakarta. Yogyakarta menjadi pilihan satu-satunya, maka tercatat dalam sejarah, Yogyakarta menjadi Ibu Kota RI pada zaman revolusi, sejak 4 Januari 1946 sampai pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Dari sekitar 250 Daerah Swapraja yaitu kerajaan dan daerah atau desa yang otonom, hanya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman saja yang menyatakan diri bergabung dengan RI dan akhirnya menjadi DIY.
Dengan demikian, lahirlah DIY sesuai ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Isinya, Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya yang ditetapkan dengan Undang-Undang di kemudian hari adalah dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Alasan Yogyakarta Bergabung RI
Keputusan untuk bergabung dengan RI, juga tidak didasari pada perhitungan untung rugi secara bisnis. Saat itu, yang ada pada pemikiran Sri Sultan dan Sri Paduka ialah kemerdekaan memang telah begitu dicita-citakan. Sedangkan kemerdekaan itu merupakan kepentingan bangsa yang besar, bukan kepentingan daerah-daerah. Pandangan kebangsaan ini sudah tertanam sejak 1908.
Yogyakarta menjadi tuan rumah berbagai kongres, mulai Kongres Pertama Boedi Oetomo pada 3-5 Oktober 1908 hingga Kongres Perempuan Indonesia pada 22 Desember 1928. Keseluruhan prosesnya berjalan seperti air mengalir,, tidak pernah dipaksa-paksa, tetapi juga tidak begitu saja terjadi dalam waktu singkat.
Proses itu berjalan di dalam suasana gejolak peperangan dan perjuangan yang hebat dalam revolusi Indonesia. Bergabungnya Yogyakarta dengan RI, bukan sekadar kebetulan, tetapi juga tidak direncanakan. Tetapi penggabungan itu terjadi karena naluri perjuangan didasari semangat kebangsaan yang begitu kuat dan diridhoi Allah SWT.
Sri Sultan HB IX naik tahta Kasultanan menggantikan Sri Sultan HB VIII pada 18 Maret 1940. Sri Paduka Paku Alam VIII menggantikan Sri Paduka Paku Alam VII pada 13 April 1937. Kedua kerajaan ini pada hakikatnya mempunyai hak mengatur rumah tangga sendiri meskipun kerajaan Mataram sudah terpecah menjadi 4, namun masing-masing memiliki hak otonom sebagai kerajaan dan pemerintahan yang setengah merdeka karena Pemerintah Penjajahan Belanda masih mempunyai kekuasaan.
Kontrak Politik Kasultanan dan Pakualaman dengan Belanda
Sejak pecahnya kerajaan Mataram pada 1755, semua pimpinan pemerintahan baik Sultan, Sunan maupun Adipati di Mangkunegaran dan Pakualaman diwajibkan menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Kontrak politik Kasultanan yang terakhir diundangkan dalam Staatsblad (Stb) 1941 Nomor 47, sedangkan Kadipaten Pakualaman pada Stb.1941 nomor 577.
Bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Kasultanan, ternyata juga berproses terus sejak sebelum sampai sesudah zaman kemerdekaan. Kadipaten Adikarto, kotanya di Wates, Kabupaten Kulonprogo wilayah Kasultanan waktu kotanya di Sentolo. Usai bergabung menjadi satu, nama wilayahnya menjadi Kulonprogo sedangkan ibu kotanya Wates sehingga betul-betul menjadi senyawa.
Begitupun bergabungnya Yogyakarta yang terdiri dari Kasultanan dan Pakualaman dengan pihak RI juga terjadi persenyawaan tersebut. Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa di dalam NKRI, sedangkan Pemerintah RI telah memanfaatkan sebagai Yogyakarta sebagai modal pertama dengan Pemerintah Daerah yang sudah tertata dan teratur, berjalan baik sejak sebelum lahirnya RI itu sendiri. Sehingga pada waktu pusat Pemerintahan RI ada di Yogyakarta pada zaman revolusi, telah dapat berbuat banyak.
Pilihan Editor: Rekomendasi 5 Kafe Tempat Kongko Anak Muda di Yogyakarta