TEMPO.CO, Jakarta - Saat membicarakan pecinan, banyak dari Anda akan memikirkan temapt-tempat seperti Petak Sembilan Bogor, Suryakencana Bogor, Semawis Semarang, ataupun Ketandan Jogja. Selain tempat-tempat tersebut, banyak daerah di Indonesia yang memiliki kawasan pecinan. Tahukah Anda mengapa banyak daerah di Indonesia memiliki banyak kawasan pecinan?
Dikutip dari buku Batavia, 1619–1740: The Rise and Fall of a Chinese Colonial Town karangan Leonard Blusse, banyaknya Pecinan di daerah-daerah yang ada di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari persebaran orang Tionghoa, khususnya di Indonesia. Banyaknya orang Tionghoa di Indonesia didorong juga dengan kegemaran orang Tionghoa untuk merantau dan mencari penghidupan yang lebih layak melalui perdagangan. Menurut catatan sejarah, orang-orang Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak abad ke-7 dan mulai mentep pada abad ke-11.
Pada awalnya, masyarakat Tionghoa yang menetap di Indonesia banyak membaur bersama penduduk setempat. Namun, ketika VOC mulai membangun Batavia (kini Jakarta), semuanya berubah dan saat itu VOC membangun sebuah tembok di Batavia. Hal ini berakibat pada adanya persaingan ekonomi antara VOC dengan etnis Tionghoa.
Ketegangan antara VOC dan etnis Tionghoa berujung pada huru-hara di tahun 1740 dan mengakibatkan banyak etnis Tionghoa yang dibantai oleh VOC. Akibat hal itu, Gubernur Jenderal Valckenier memberikan perintah supaya semua etnis Tionghoa untuk menetap di luar tembok Batavia dan orang-orang Tionghoa diisolasi dalam suatu kawasan yang disebut Chineeche kamp yang ada di daerah Glodok dan sekarang dikenal dengan nama Petak Sembilan.
Akibat huru-hara pada 1740, berimpilkasi juga pada etnis-etnis Tionghoa yang tersebar di banyak daerah dan membuat mereka harus diisolasi pada kawasan tertentu dan hal ini membentuk suatu kawasan yang disebut dengan pecinan karena banyak diisi oleh orang-orang Tionghoa. Tempat-tempat ini masih ada hingga saat ini dan masih menjadi pusat berkumpulnya orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia.
EIBEN HEIZIER
Baca: Kampung Ketandan: Tan Ji Sing dan Daerah Pecinan Yogyakarta