TEMPO.CO, Jakarta - Setiap sore, Jalan Tunjungan dimulai dari Gedung Siola – mal terbesar pada era Hindia Belanda – hingga depan Hotel Majapahit, dipenuhi dengan milenial yang asyik berselfie. Gedung-gedung tua dengan bata terekspos atau menara, memang menghadirkan suasana yang klasik.
Terik panas matahari Kota Surabaya memang meredup. Kemeriahan pun muncul di sepanjang jalan. Para milenial membuat vlog, berswafoto, bahkan membuat film di area itu. Bila ingin mendapatkan suasana senja yang seru, bersantailah di Pecinan, Kya-Kya Kembang Jepun. Dulu awal 2000-an, Kya-Kya Kembang Jepun menjadi sentra kuliner Peranakan, namun kini tak ada lagi.
Baca Juga:
Spot foto terbaik berada di sekitar kantor koran Radar Surabaya, di situlah terdapat Jembatan Merah. Tempat tewasnya Brigjen AWS Mallaby dan lokasi arek-arek Suroboyo bertempur itu memang menumbuhkan rasa nasionalisme. Di jembatan itu, arek-arek Suroboyo menahan gerak pasukan Inggris agar tak memasuki kota. Pertempuran seru itu, sampai di dekat Gedung Siola.
Jalan Tunjungan, salah satu ikon bersejarah di Surabaya, Jawa Timur.
Dari atas gedung itu, para tentara rakyat menembaki pasukan Inggris. Pertempuran pecah selama tiga hari di sekitar Siola. Di Jalan Tunjungan, terdapat pula Hotel Majapahit yang dulunya bernama Hotel Orange, lokasi dirobeknya bendera Belanda.
Di dekat Jembatan Merah, terdapat Jalan Rajawali. Di situlah berdiri penjara untuk para tahanan politik. Mulai dari HOS Tjokroaminoto, Bung Karno, hingga WR Supratman. Penjara ini hanya berjarak sekitar 300 meter dari House of Sampoerna. Penjara legendaris yang dibangun pemerintah Hindia Belanda itu merupakan tempat Kapten Huijer dari Angkatan Laut Belanda ditawan – sebelum terjadinya Perang 10 November.
Wakil Sekutu pertama yang ditugasi untuk mengetahui kondisi Kota Surabaya ini dibebaskan oleh pihak Inggris (Sekutu). "Dan itu menyalahi perjanjian," kata Bagus Prasetya, pemandu wisata, kepada TEMPO yang juga ikut tur bus wisata heritage, Selasa, 5 November 2019.
Suasana acara "Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan" yang digelar di kawasan kota tua Surabaya, Selasa, 19 Desember 2017. Ribuan warga dan 250 UMKM berkumpul di jalan yang dulunya adalah tempat kongkow nonik dan meneer Belanda. Tempo/Artika Farmita
Selain Jalan Rajawali, sepanjang Jalan Veteran merupakan lokasi gedung-gedung cagar budaya. Di jalan itu terdapat Polrestabes Surabaya atau Hoofdcommissariaat van Politie te Soerabaja. Dari tempat itu, Arek-arek Surabaya merampas senjata dari pihak Jepang untuk bertempur melawan sekutu.
Mereka juga mendapatkan tank dan panser dari Gedung Lindeteves -- kini kantor Bank Mandiri Surabaya. Semasa pendudukan Jepang, gedung yang berada di sudut Jalan Pahlawan dan Kebon Rojo itu jadi tempat penyimpanan peralatan perang dan bengkel kendaraan tempur.
Masih satu deretan dengan Gedung Lindeteves, berdiri gedung Pelni Heritage. "Itu dulu kantor berita Domie (Antara)," ujarnya. Di kantor itu Bung Tomo menyebarkan berita proklamasi dengan menggunakan bahasa Jawa dan Madura untuk menghindari sensor Jepang.