TEMPO.CO, Jakarta - Kairo yang panas membuat orang-orang enggan berkeliaran di siang hari. Di balik tirai tebal dengan sulaman warna warni, Ekramy Al Farouk mulai menjahit selimut yang ia mulai beberapa hari yang lalu. Dia berharap untuk menjual produk jadi hari ini. Ia menjahit tenunan khayamiya dan sebagai generasi terakhir pengrajin khayamiya, ia tahu tak ada proses yang dipangkas.
Ia belajar dari ayahnya, dan ayahnya belajar dari kakeknya – demikian seterusnya – tak ada pelajaran mempercepat pembuatan khayamiya. Bukan hal yang aneh, khayamiya hanya bisa diselesaikan melalui proses waktu berminggu-minggu. Pengrajin yang sabar seperti Al Farouk, 44, yang mulai menjahit ketika berusia 12 tahun, berlatih selama bertahun-tahun untuk menguasai seluk beluknya.
“Belajar khayamiya melewati berbagai tingkatan,” kata Al Farouk. "Butuh banyak waktu untuk mempelajari bahkan potongan-potongan sederhana, dan aku harus mempelajarinya sebelum menjadi profesional."
Generasi pengrajin khayamiya seperti Al Farouk telah melalui usahanya turun temurun, yang diwarisi dari usaha keluarga. Mereka berdagang di gang-gang sempit di bawah naungan menara-menara masjid di Kota Kairo. Pusat penjualan khayamiya dikenal Sharia Khayamiya - Jalan Tentmakers, atau Tentmakers Market.
Gang itu terkenal seantero Kairo sebagai pusat seni dekorasi tenda. Seperti banyak bentuk seni, bentuknya berbeda selama bertahun-tahun. Tren beberapa bulan ini adalah selimut dan sarung bantal, Kerajinan itu digantung menutupi dinding pasar yang menua, menjadikannya warna-warni yang hidup.
Suasana Sharia Khayamiya kian sepi setelah revolusi Mesir 2011. Foto: Foto: Mohamed El-Shahed/AFP/Getty Images
Beberapa percaya bahwa khayamiya berasal dari zaman firaun. Tetapi penjualan khayamiya jauh menurun dibanding masa kejayaannya. Apalagi pengrajinnya tersisa 20 orang saja, di antara gempuran tekstil murah dan kondisi politik Mesir.
Turisme di Jalan Tentmaker, seperti di sebagian besar Mesir, anjlok setelah revolusi pada Januari 2011. Ketika para pemrotes mengerumuni pusat kota Kairo, kedutaan mendesak para pelancong untuk mengubah rencana mereka. Pasar yang ramai, menjadi sunyi.
Mereka yang berani melakukan perjalanan wisata ke Mesir, umumnya melewatkan labirin Kairo yang semrawut dan berpotensi berbahaya, dan memilih untuk berkunjung ke Sphinx Agung atau Piramida Agung Giza yang dijaga ketat.
Untuk bentuk seni seperti khayamiya, yang selalu mengandalkan pariwisata, kurangnya lalu lintas pejalan kaki bisa terdengar seperti lonceng kematian. Namun itu hanya salah satu tantangan yang dihadapi pengrajin khayamiya hari ini. Selain itu, generasi muda Kairo beranggapan khayamiya itu kuno, ketinggalan zaman.
Séverine Evanno, yang mengumpulkan dan menjual khayamiya melalui toko daring dan toko Etsy, Couleurs du Nil, mengatakan generasi muda hari ini tidak ingin mengikuti jejak leluhur mereka. "Orang muda tidak cukup sabar untuk mempelajari membuay khayamiya," katanya. “Mereka lebih suka mengendarai taksi atau Uber. Mereka tidak punya waktu untuk belajar menjahit. ”
Proses membuat khayamiya memang butuh ketelatenan, keuletan, dan tentu saja kesabaran. Mula-mula pengrajin membuat sketsa desain di atas kertas, kemudian menyulam mengikuti pola di atas kertas. Dulu untuk membuat desain menggunakan jelaga atau bubuk. Setelah itu diteruskan dengan menjahit setiap detail dengan susah payah. Ini adalah proses yang membutuhkan berjam-jam, berhari-hari, bahkan kadang-kadang berminggu-minggu.
Sebuah toko di Sharia Khayamiya yang menjajakan karpet berbordir khas khayamiya. Foto: Mohamed El-Shahed/AFP/Getty Images
“Kesulitan menyusun khayamiya adalah memiliki kesabaran, konsentrasi, dan keterampilan,” kata Al Farouk. Namun hasilnya adalah sesuatu yang sepenuhnya unik: perpaduan warna dan detail artistik tidak seperti bentuk seni yang diterapkan pada tekstil ataupun karpet.