Setelah itu mereka pun dikeluarkan dari kandang untuk menuju rawa. Suara gaduh dan riuh menyertai kepergian mereka ke hamparan rumput. Dan uniknya lagi, seekor betina dewasa berlari meninggalkan kandang sembari menyusui anaknya.
Di rawa, para kerbau seharian menghabiskan waktunya dengan berenang, berlarian, hingga memakan rumput sembari menyelami air rawa. Tugas Uju belum selesai, ia masih harus membersihkan kandang dari kotoran dan melakukan sedikit perbaikkan bila ada yang kurang beres dengan kandang yang ia rintis sejah awal tahun 1980-an itu.
Pagi itu, matahari makin berani menampakkan sinarnya. Uju dan sebagaimana peternak lainnya kembali ke rumah untuk sarapan, istirahat dan melakukan aktifitas produktif lainnya termasuk memasak susu. Lagi-lagi, tugasnya belum selesai karena sore hari harus kembali ke kandang untuk menyambut kepulangan hewan yang konon berasal dari India itu.
Menjelang sore selepas salat Ashar, peternak menghidupkan api untuk menghangatkan tubuh kerbau setelah seharian beremdan di air. Perapian difungsikan juga untuk mengusir nyamuk dan binatang yang menempel pada kulit hitam gelap mereka.
Landscape bak Padang Savana Afrika
Selesai mengintip proses pemerahan susu kerbau, saya bersama dengan salah seorang kerabat melajutkan petualangan kecil ini, dengan mengelingi sungai dan rawa-rawa yang ada di sekitar desa Bangsal. Desa ini berbatasan dengan desa Kuro sebelah barat, di utara desa Manggaris serta ke arah timur dan selatan ke arah desa Pulau Betung. Sepanjang mata memandang, penglihatan ini dimanjakan oleh hamparan “padang savana” yang terdiri atas rawa kering, rawa berumput maupun rawa yang masih dipenuhi air.
Dari atas perahu ketek, pisau lensa berhasil menangkap aktivitas pagi warga desa seperti mandi, mencuci di sungai yang ujungnya bisa membawa siapapun hingga ke kota Palembang. Mereka beraktivitas itu di antara jejeran keramba ikan yang terbuat dari bambu. Bahkan tidak jarang perahu yang ditumpangi berpapasan dengan perahu lainnya, yang sedang mengangkut barang dagangan untuk menuju pasar kecamatan di Pampangan.
Gulo puan atau gula susu, merupakan hasil olahan susu segar kerbau rawa. Inilah makanan para raja Palembang dari Desa Bangsal, Ogan Komering Ilir. TEMPO/Parliza Hendrawan
Sementara di bibir sungai yang mengarah ke jalan desa, terdapat ratusan rumah-rumah kayu maupun semi permanen yang berbaris rapi membelakangi saya yang ada di atas ketek. Tiang-tiang rumah tertanam di rawa. Hanya tangga kayu yang menjadi penghubung rumah dan sungai. Pesona ini kian menambah keelokan desa yang di dalamnya terdapat juga Pondok Pesanteren Ibnul Fallaah serta sebuah sekolah dasar negeri.
Rutenya dan Tarif
Untuk menuju ke desa Bangsal tidak terlalu sulit baik itu dari arah Kayu Agung maupun kota Palembang. Dengan ongkos Bus Rp25.000-30.000, pelancong dapat tiba di tujuan dengan selamat. Setidaknya ada tiga pilihan jalan darat yang bisa ditempuh bila anda dari Palembang.
Rute pertama dimulai dari Jakabaring dengan melewati beberapa desa diantaranya: Sungai Pinang-Rambutan-SP Padang-Pampangan. Rute ini bisa juga dilalui meskipun sedang musim hujan karena merupakan jalan utama.
Sedangkan dua rute berikut ini hanya direkomendasikan untuk musim kemarau saja karena jalanan banyak berlubang bahkan dipenuhi lumpur. Rute tersebut dari Jakabaring, melewati desa Sungai Pinang-Rambutan-Simpang Semudim-Pulau Layang dan desa Bangsal. Alternatif ke tiga dari Jakabaring, kendaraan akan melintas di antaranya di desa Sungai Pinang-Rambutan-Tanjung Kerang-Siju-Jermun dan Pampangan.
Sementara itu Kasubbag Media dan Komunikasi Publik Setda OKI, Adi Yanto menjelaskan desa Bangsal juga bisa ditempuh dari kota Kayu Agung dengan melewati SP. Padang-Pampangan. Dengan ongkos Rp25.000 dan lama tempuh sekitar 2 jam. Ia menjamin para pelancong bisa sampai di ibu kota kecamatan. Selanjutnya dengan menumpang ojek dengan tarif sekitar Rp20.000, tamu akan diantar ke desa Bangsal. “Menginap di Kayuagung banyak pilihannya, kalau di Bangsal biasanya di homestay milik warga setempat,” kata Adi Yanto.