TEMPO.CO, Palembang - Pampangan merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) di Sumatera Selatan. Jaraknya sekitar 85 km dari kota Palembang atau berkisar 50 km dari kota Kayu Agung yang merupakan ibu kota kabupaten OKI.
Daerah ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan dan beras dari sawah rawa dan lebak. Selain itu, sejak dulu kala, Pampangan dikenal sebagai sentra pengembangbiakkan kerbau rawa. Itulah yang membuat saya tertarik melihat dari dekat ekosistem kerbau rawa Pampangan.
Senin, 12 Agutus yang baru lalu, setelah menempuh perjalanan selama lebih dari tiga jam dari kota Palembang, saya dapat merasakan bermalam di sebuah pondok yang letaknya hanya selemparan batu dari kandang kerbau milik warga desa Bangsal. Udaranya masih segar dan aliran sungai masih cukup untuk membawa para nelayan hilir mudik. Bentang alamnya begitu menggoda bagi siapapun yang hobi traveling.
Asyiknya lagi, tengah malam, saya sempat dibangunkan oleh lenguhan hewan bernama latin Bubalus bubalis carabanesis itu. Dan tidur kembali dengan pulas berkat angin sepoi-sepoi yang menembus celah lantai kayu pondok milik pak Kades. Terbangun lagi menjelang subuh disambut udara dingin pedesaan. Pesona ini rasanya rugi bila pelit untuk dibagikan.
Naik Ketek Menembus Kabut
Hari masih begitu pagi, ketika terbangun untuk bersiap-siap berpetualang mengelilingi sungai dan rawa-rawa di desa Bangsal, kecamatan Pampangan. Jarak pandang masih sangat terbatas manakala harus menjepret landscape desa yang dikelilingi air sehingga kamera kembali disarungkan agar lensa tetap aman dari semburan air dan embun.
Pagi itu kabut masih menyelimuti desa yang dihuni tidak kurang dari 868 warga itu. Menjelang pukul 06.00, Muhammad Hasan, Kepala Desa Bangsal mendatangi pondok tempat saya bermalam. Sesuai janjinya, ia akan menuntun saya dan seorang kerabat untuk berpetualang ke kandang kerbau milik beberapa warganya di sebelah selatan Bangsal.
Bila memungkinkan, perjalanan bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 30-40 menit. Medannya agak berat karena terdiri atas rawa basah, yang di sekitarnya juga tumbuh hamparan rumput. Salah-salah kaki bisa terperosok di antara sisa-sisa jejak kerbau sedalam paha pria dewasa.
Puluhan kerbau rawa lalu lalang di rawa Desa Rambutan. Setiap warga di desa ini pun hampir semuanya memiliki peliharaan kerbau rawa, total kerbau rawa di desa ini mencapai ribuan ekor. TEMPO/Ahmad Supard
Setengah tergesa-tergesa karena khawatir kehilangan momen, saya berharap bisa menemukan segala sesuatu terkait dengan ekosistem kerbau rawa. Perjalanan itu bisa lebih cepat dengan menumpang perahu kayu atau dalam bahasa setempat disebut sebagai ketek milik warga. Pagi itu banyak keberuntungan, sayup-sayup terdengar tek..tek..tek.. suara khas perahu kayu bermesin 6,5 pk itu.
Belakangan saya tahu ketek itu milik Uju Muhammad. Hasan pun menghentikannya dan menitipkan kami untuk bepergian ke kandang para peternak. Benar-benar beruntung, tenyata Muhammad, 60 tahun, merupakan salah satu pemilik kandang Kerbau Rawa.
Tanpa basa-basi lagi, kami memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud dan tujuan bertandang ke desa yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan dari Kayu Agung. Ia pun menganggukan kepalanya manakala diminta untuk mengajari cara memerah susu kerbau. Sembari membuang air yang masuk kedalam lambung keteknya. Uju, sapaan akrabnya bercerita banyak perihal ekosistem Kerbau Rawa. Katanya, susu dalam bahasa setempat disebut sebagai puan selanjutnya dimasak menjadi cemilan yang mantap di lidah. Makin penasaran kan..
Ambil Puan di Kandang
Sekitar 20 menit kemudian, ketek menepi di bibir sungai yang jaraknya sekitar 150 meter dari kandang. Lenguhan dan aroma khas kerbau, menyambut kedatangan kami pagi itu. Kabut embun sudah mulai menipis sehingga merahnya tanah dan hitamnya air rawa, serta hijaunya rerumputan tampak mudah diamati. Saya bergumam, inilah salah satu destinasi wisata yang meneduhkan jiwa.
Bahkan saya membayangkan sedang berada di salah satu hamparan padang savana di Afrika. Sebagaimana yang sering di tonton dilayar-layar TV dan bioskop, akan muncul adegan para petualang yang bertaruh nyawa menyelamatkan hewan dan binatang di sana.
“Ada 11 kandang di sini,” kata Uju Muhammad sembari membuka gembok kandangnya. Uju Muhammad memiliki hampir 60 ekor kerbau, yang ia taruh di dua kandang di bagian selatan desa Bangsal. Dengan lincah ia memamerkan kepiawaianya memerah susu yang sebelumnya sudah dihisap oleh bayi kerbau yang belum genap berumur 8 bulan.
Kuliner ini mirip dengan gulo puan, hanya ditambahi telor. Bahan baku utamanya juga susu segar kerbau rawa. TEMPO/Parliza Hendrawan